I
‘Hidup yang tak pernah dipertanyakan adalah hidup yang sia-sia’. Minggu lalu kita tahu ini pernyataan Socrates. Tapi saya pikir-pikir lagi. Ternyata mempertanyakan hidup kita sama saja dengan mengotak-atik tempat kita berada di dunia ini. Pertanyaan yang biasanya muncul tentang hidup misalnya “dari mana kita berasal dan hendak ke mana kita berada?”, lalu disambung “untuk apa kita hidup?”, atau “apa sih makna hidup kita?”. Ini bukan pertanyaan sepele. Sepanjang sejarah, para filsuf berpusing-pusing ria berusaha menjawabnya; atau paling tidak mencoba menemukan kunci-kunci pembuka gudang jawaban. Bagi sebagian besar orang, pertanyaan seperti ini remeh-temeh belaka. Ini hanya pertanyaan tolol orang iseng yang tak punya kerjaan. Buat apa susah payah menjawab sendiri. Kita bisa copy-paste jawaban itu dari orang-orang bijak, nabi, ulama, pastor, atau para fasilitator yang pandai bicara. Tetapi persoalannya sesekali kita pasti menjadi orang yang tak punya kerjaan. Rutinitas keseharian memang seperti Bulan Ramadhan terhadap Setan yang membelenggu pertanyaan-pertanyaan eksistensial atau pertanyaan-pertanyaan yang menggugat arti hidup kita atau bahkan diri kita sendiri. Dalam perjalanan hidup, kita tidak jarang menemukan diri kita termenung dalam sunyi dan terpaksa membaca pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang berseliweran. Terutama ketika suasana hati tergugah oleh peristiwa yang mengguncang. Guncangan hidup yang kita alami hampir selalu memutus belenggu yang mengikat pertanyaan eksistensial. Mau tidak mau kita dihadapkan pada pertanyaan tersebut. Pertanyaan-pertanyaan eksistensial juga biasanya menimbulkan guncangan. Seperti membuka Kotak Pandora, ketika satu pertanyaan coba di tanggapi, maka akan mengalirlah beribu pertanyaan turunannya. Manusia tidak akan sanggup hidup bila terus-menerus menanyakan keberadaannya. Inilah yang oleh psikolog dinamai sebagai krisis hidup. Dalam krisis inilah bisa terjadi perubahan-perubahan radikal dalam diri kita. Perubahan itu bisa bermacam bentuknya. Tetapi yang penting adalah ‘Apa yang harus kita lakukan? Apa yang harus kita jawab? Bagaimana menjawabnya?‘
Banyak cara menanggapi pertanyaan eksistensial yang muncul. Kita bisa mengajak teman-teman ke Dago 34 membeli bir pilsener yang “Best served with friends” lalu curhat dan ngobrol ngalor-ngidul. Bisa juga ke Kubus surfing Internet atau main game RTS yang butuh waktu lama. Kalau ada waktu dan pakaian bagus, kita bisa ke Aa Gym tiap Jumat. Atau bagi yang punya duit datang saja ke psikolog untuk berkonsultasi. Bagi yang tidak punya duit cukup bangun malam dan tahajud berdoa kepada Allah; ke altar gereja dan doa rosario minta pertolongan Bunda Maria. Selain ke Kubus dan main game RTS, teman, Aa Gym, psikolog, atau Kekuatan Ilahiah pasti bisa menjawab; atau paling tidak, membuat kita tentram kembali. Mereka melerai pertarungan dalam diri antara kita dengan pertanyaan-pertanyaan di seputar hidup. Bagi mereka yang tidak percaya teman, Aa Gym, psikolog, atau Kekuatan Ilahiah, ada beberapa pilihan: gila, bunuh diri, atau menantang pertanyaan tersebut, menjawabnya, dan menjadi diri sendiri. Oleh karena itu, manusia yang paling patut dikasihani di seluruh dunia dan akhirat adalah orang yang tidak percaya pada Tuhan. Mereka tidak punya tempat curhat ketika tidak ada siapa-siapa yang bisa diajak curhat.
II
Dari mana munculnya pertanyaan-pertanyaan eksistensial? Dari kenyataan kita sebagai manusia. Cara berada kita di dunia berbeda dengan cara berada benda. Kutu kucing, kucing di depan warteg, showroom sepeda motor di depan itu, kampus Unpad, Pulau Jawa, negara Indonesia, Bumi, rangkaian planet-planet, galaksi, dan alam semseta; semua ini adalah Pengada-pengada. Tulisan ini, saya, dan anda yang membacanya juga pengada. Tetapi Pengada berbeda dengan Ada. Ada bukanlah kumpulan atau jumlah pengada-pengada. Tetapi Ada menopang Pengada-pengada. Tidak semua pengada bisa menanyakan Ada-nya. Jean-Paul Sartre (1905-1980), filsuf Prancis paling tersohor setelah Renatus Cartesius (1596-1650), membedakan cara berada manusia dengan cara berada bukan-manusia. Manusia berada-untuk-dirinya (étre-pour-soi); sedangkan benda berada-dalam-dirinya (étre-en-soi). Manusia adalah Pengada yang bisa menanyakan Ada-nya. (Saya mohon maaf kepada peserta Belajar Filsafat karena mulai dari paragraf ini kita terpaksa memulai pendakian tanjakan curam konsep-konsep filosofis yang njlimet).
Kucing, motor, buku, atau buah duku tidak pernah mempersoalkan Ada mereka. Mereka sekadar menjalani hidup. Kucing mondar-mandir di depan warteg, atau motor terparkir di depan toko. Sudah cukup. Ini berbeda dengan kita, manusia yang bisa bergumul dengan dirinya sendiri dan bertanya, mengapa ‘ada’. Kucing kudisan itu ‘ada’ begitu saja dan mungkin tidak pernah mengambil jarak terhadap ‘ada’-nya, karenanya dia tidak pernah menanyakan ‘ada’-nya. Yang bisa melakukan itu hanya Pengada yang bernama manusia. Kita adalah pengada yang ada-dalam-dunia. Keberadaan kita dalam-dunia bersifat ujug-ujug. Dasar keberadaan biologis kita mungkin adalah dilahirkan ibu di suatu tempat. Tetapi dasar asali atau dasar keberadaan ontologis kita adalah bahwa kita ‘ada-begitu-saja-di-dunia’, tanpa tahu dari mana dan mau ke mana. Itulah yang oleh Martin Heidegger (1889-1976) disebut dengan faktisitas atau kenyataan keberadaan kita sebagai pengada. Kita tidak pernah bisa memilih untuk hidup atau tidak hidup di dunia ini. Kita juga tidak bisa memperhitungkan akan lahir di rahim siapa, kapan, dan di mana. Kita juga tidak diberitahu harus bergerak ke mana. Kita tiba-tiba sadar sudah berada-dalam-dunia. Heidegger menyebutnya sebagai keterlemparan. Pengada-pengada yang lain juga ‘ada-begitu-saja’, tetapi tidak mempersoalkannya karena tidak mempunyai jarak dengan ‘ada’nya. Jarak itu ada karena kesadaran kita yang bersifat, dalam istilah fenomenologi Husserl, intensional. Maksudnya saya sadar bahwa saya adalah ‘saya’ karena saya sadar ada yang ‘bukan-saya’. Pantulan-pantulan dari sesuatu ‘yang-lain’ itulah yang membuat kita sadar bahwa kita ada.
Kesadaran manusia atas faktisitasnya yang ‘ada-begitu-saja’ inilah yang memunculkan ‘kesunyian purba’ dalam kehidupan manusia. Kesunyian ini menodorng manusia ‘membunyikan’-nya. Manusia menciptakan ilmu pengetahuan, agama, kebudayaan, untuk membunyikan kesunyian yang disandang keberadaannya. Søren Kierkegaard (1813-1855), bapak eksistensialis dari Denmark, menyatakan bahwa peradaban merupakan hasil kegelisahan manusia membunyikan kesunyian. Dalam kehidupan pribadi, identitas-identitas pribadi seperti nama, alamat, agama, kebangsaan, kegemaran, sikap-sikap hidup dan karakter, gaya rambut dan pakaian, dan segala atribut yang ‘mencirikan’ gue banget, merupakan upaya kita membunyikan kesunyian yang menggelayuti keberadaan kita dalam-dunia. Semua atribut itu kita ciptakan. Manusia menciptakan esensinya sendiri. Oleh karena itu, diktum filsafat Sartre yang paling terkenal adalah “eksistensi mendahului esensi”. Tidak ada kodrat, tidak ada suratan takdir, tidak ada tangan Tuhan dalam esensi kita. Manusia dihukum untuk bebas dan dihadapkan pada kemungkinan-kemungkinan. Kita adalah pengada yang belum selesai atau terus-menerus ‘mengada’. Seiring waktu kita menambah, membuang, atau mereparasi identitas-identitas yang membentuk ‘diri’ kita.
Jadi pertanyaan-pertanyaan eksistensial muncul ketika manusia berhubungan dengan ‘ada’nya. Pertanyaan ini tidak muncul secara rutin seperti UAS. Orang pun tidak akan sanggup hidup bila mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini setiap waktu. Tapi untung sekali karena kita lebih sering lupa daripada mengingat ‘ada’ atau bergumul dengan ‘ada’. Kelupaan itu karena dalam keseharian, kita lebih sering berhubungan dengan pengada-pengada yang lain. Saya kendarai motor dari Bandung ke Jatinangor dan sebaliknya, bertemu teman, ngobrol dengan tukang lotek, baca Kobo Chan atau Kariege Kun, nonton Exorcism, ngutang ke saudara, menulis, main game RTS, dan sebagainya. Hubungan praktis saya dengan pengada-pengada lain itu membuat saya tenggelam dalam rutinitas keseharian dan melupakan ‘ada’. Kita menganggap bahwa segala sesuatunya, termasuk diri kita, sudah seharusnya begitu adanya dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Ada nilai yang melekat dalam segala hal, termasuk hidup yang dijalani. Tetapi, dalam keseharian adakalanya orang terputus dari rutinitas itu, misalnya ketika harus mengambil keputusan penting; apalagi untuk masalah yang pilihannya sama-sama baik atau sama-sama buruk. Atau bisa juga muncul ketika bencana menimpa kita, entah bencana pribadi seperti ditinggal kawin oleh pacar tercinta atau bencana kolektif seperti Tsunami. Pada saat itulah kita berhubungan dengan ‘ada’ kita, yakni mempertanyakan ‘ada’ kita dan ‘ada’ hidup kita. Adakah nilai di balik (atau di atas, di samping, di belakang, di bawah, terserah anda mau menempatkannya) segala yang ada; adakah nilai keberadaan kita di dunia ini? Benarkah hidup itu baik, indah, dan anugrah; ataukah ia buruk, jelek, dan bencana; atau justru hidup itu tidak baik dan tidak buruk; hidup itu absurd, tanpa nilai. Suwung. Tidak ada apapun di balik segala ada.
III
Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin muncul sekelebat dalam waktu sepersekian detik ketika kegundahan menimpa kita. Sebagian dari kita akan mengabaikannya; melupakannya dengan menyetel lagu Dewa 19 atau Peter Pan yang easy-listening itu. Ada yang segera mengucap astaghfirullah karena menganggapnya sebagai bisikan Iblis yang Terkutuk. Adapula yang menanggapinya sebagai anugrah dari ‘ada’. Hanya segelintir orang saja di dunia ini yang berani menantang kehadiran ‘ada’. Mereka begitu girang bertemu ‘ada’. Namun, karena perjumpaan dengan ‘ada’ selalu menggelisahkan karena akan menggugat segala pemahaman mapan yang selama ini dipercayai, maka orang-orang yang gemar berjumpa dan mempertanyakan ‘ada’ biasanya adalah orang-orang gelisah. Sejarah menunjukkan bahwa para nabi, rasul, budha, atau filsuf adalah manusia-manusia gelisah pendobrak tradisi. Mereka adalah orang-orang yang berani tampil beda secara radikal. Mereka juga pada awalnya selalu menjadi musuh masyarakat karena hasil pergulatan dengan ‘ada’nya diajarkan kepada masyarakat. Biasanya, jawaban hasil perjumpaan dengan ‘ada’ tidak sejalan dengan pemahaman yang mapan berlaku dalam masyarakatnya tentang hidup, manusia, dan dasar segala sesuatu.
Begitu jarang ‘ada’ hadir di hadapan kita untuk dibaca, direnungkan, dan digeluti. Seperti hantu, ‘ada’ kita hindari. Kita lebih suka mempercayai ‘ada’ kita dan juga ‘ada’ dari segala pengada yang berhubungan dengan hidup kita seperti yang diajarkan oleh sumber-sumber jawaban yang sudah mapan. Sumber jawaban mapan seperti ajaran agama, teori ilmu pengetahuan, otoritas orang tua dan sesepuh keluarga, pacar yang bijaksana, teman yang arif, menyediakan jawaban siap saji yang bisa dicopy-paste. Tetapi kita menghidupi hidup kita sendiri. Apakah psikolog lulusan Harvard mampu menyelam ke dalam pengalaman eksistensial kita? Mampukah Aa Gym memahami peristiwa yang kita alami karena kita menghidupi hidup yang unik? Adakah orang yang benar-benar mengalami peristiwa yang kita alami sehingga bisa memberikan jawaban atas persoalan hidup kita sendiri? Mungkin mereka mengetahui secara teoritis tentang keadaan lain yang mirip. Mereka bisa tahu dengan mempelajarinya dari buku teks atau pengalaman orang lain semirip yang kita alami. Tetapi mereka tidak akan mampu mengalami yang kita alami; yang benar-benar kita alami. Karena mereka bukanlah kita. Jika begitu, relakah kita percayakan jawaban atas persoalan hidup kita pada orang lain yang tidak benar-benar menggeluti hidup kita? Maukah kita serahkan jawaban atas persoalan hidup pada orang yang tidak mengalami pengalaman kita yang unik? Bila ya, maka kita akan memperoleh jawaban instan, lalu ketentraman dan hidup nyaman akan berlanjut. Bila tidak, dan memilih untuk menjawab sendiri persoalan itu, maka kita akan berjumpa dengan ‘ada’ kita, mempertanyakannya, dan menjawab tantangannya. Sulit. Sangat sulit. Sekali lagi kita diingatkan oleh Jean-Paul Sartre bahwa kita “dihukum untuk bebas”. Sanggupkah kita tanggung hukuman itu; ataukah kita gadaikan kebebasan kita untuk sekadar memperoleh kenyamanan dalam hidup yang sesingkat ini?
IV
Berjumpa dan ngobrol dengan ‘ada’ sudah merupakan pengalaman yang menggelisahkan sehingga sebagian besar dari kita melarikan diri darinya. Masih untung kalau kita, sebagai hasil perjumpaan itu, menemukan bahwa hidup mempunyai makna, entah itu baik ataupun buruk. Bagaimana kalau perjumpaan itu akhirnya membawa kita pada penemuan bahwa di balik segala ‘ada’ dalam hidup kita, termasuk diri kita sendiri, ternyata tidak mempunyai makna apapun alias absurd bin nihil. Celaka. Ternyata, sesuatu yang selama ini kita anggap punya makna, ternyata tidak. Celaka dua belas. Benar-benar celaka bila kita menemukan bahwa dasar kehidupan kita ternyata bukan suratan tangan tuhan, bukan hasil “pengaruh putih telur terhadap ketajaman gelasan”, dan bukan pula hasil kekuatan alamiah yang bekerja secara mekanik. Ternyata kehidupan hanyalah permainan; semacam guyonan tanpa sebab dan tujuan. Saya biasa menyandarkan segala sesuatu pada Yang Di Atas. Saya bisa bilang bahwa penderitaan yang saya alami adalah suratan takdir; sebuah cobaan yang pasti ada hikmahnya; atau sebuah teguran atau azab atas perbuatan jahat saya. Orang yang pede akan amal salehnya bisa bilang soal cobaan atau teguran. Orang yang tidak pede akan amal ibadahnya, seperti saya misalnya, bisa bilang bahwa penderitaan itu adalah azab; buah dari perbuatan yang buruk. Kita masih bisa menerima penderitaan yang kita alami bila ada jawaban atas penderitaan itu, entah itu cobaan, teguran, atau azab dari Yang Mahakuasa. Paling-paling kita mengeluh: “mengapa Engkau timpakan penderitaan seberat ini padaku?” Sekali lagi, ini masih untung karena ada jawaban. Tapi bila ternyata tidak ada apa-apa di balik penderitaan itu, apa yang akan kita lakukan?
Pilihannya tidak banyak. Pertama, orang bisa menolak kenyataan tersebut. Dalam kepanikan, penolakan bisa berujung pada menghentikan hidup: bunuh diri. Itulah yang kerap terjadi pada kasus-kasus bunuh diri di Indonesia. Penderitaan hidup sepertinya tanpa ujung. Penderitaan panjang itu sepertinya tidak diikuti oleh hikmah seperti yang diajarkan tokoh-tokoh agama. Lalu buat apa melanjutkan hidup yang tak berarti ini? Bunuh diri, menurut Albert Camus (1913-1960), seorang filsuf eksistensialis dari Prancis, adalah “sebuah pengakuan... pengakuan si pelaku bahwa ia telah terkalahkan oleh kehidupan atau bahwa ia tak mengerti hidup... pengakuan bahwa hidup sudah tidak layak dijalani”. Bagi Camus kehidupan adalah milik manusia satu-satunya yang paling berharga di hadapan yang tanpa-makna alias absurd bin nihil.
Penolakan juga bisa berujung pada mereka-reka keadaan seolah-olah hidup kita bermakna. Kita tenggelam dalam khayalan yang berseberangan dengan kenyataan hidup: gila.
Pilihan terakhir adalah menerima kenyataan secara aktif. Memang kehidupan tanpa makna. Tapi karena kita dihukum untuk bebas, maka kita bisa memaknainya sendiri. Karena makna kehidupan itu kita yang menciptakan, maka kita juga harus menanggung segala resiko dan bebannya di pundak kita sendiri. Bila kita sudah memilih makna bagi hidup kita di dunia ini, maka tidak ada lagi penyandaran kekeliruan pilihan kepada ‘yang lain’. Baik-buruknya pilihan makna hidup, harus kita sendiri yang menanggung. Inilah ujian terberat kita sebagai pengada yang bisa menanyakan ‘ada’nya. Sanggupkah?
Waktu seusia anak kelas 5 SD, saya, seperti sebagian anak kampung lainnya, pernah menjadi gembala domba. Sepulang sekolah saya menggiring domba ke padang rumput sementara bapak mengumpulkan rumput. Betapa nyamannya menjadi domba. Tidak perlu sekolah dan diteror PR setiap hari. Si domba lahir dan menyusu pada ibunya, lalu setelah beberapa minggu ia belajar mencari makan. Dia belajar memilih rumput yang enak supaya sehat dan gemuk. Dia belajar mengunyahnya sesuai tradisi. Ketika sudah ahli mencari rumput dan mengunyahnya, domba itu belajar juga mencari pasangan kawin dan ‘menikmati’ seks. Mula-mula ditolak. Tapi lama-lama dapat juga. Domba pun kawin dengan domba betina pilihannya. Istrinya hamil dan melahirkan anak. Anaknya beranjak remaja dan sudah bisa mencari makan sendiri. Kini si domba sudah dewasa dan menjelang ajal, entah dijagal untuk dimakan dagingnya atau mati karena penyakit. Sejak dijinakkan 10.000 tahun lalu, mungkin hampir semua domba menjalani hidupnya seperti domba saya. Mereka menjalani hidup seadanya. Hidupnya mengalir; benar-benar mengalir seperti air sungai Nil dari hulu ke hilir. Tidak pernah berhenti dan merenung sejenak. Tidak ada “pengalaman”, tidak pula pertanyaan akan ‘ada’nya. Begitu tentram hidupnya. Begitulah cara domba saya ‘berada’.
Labels: filsafat