I
Di suatu masa ada seorang miskin yang didera penderitaan dari segala pojoknya. Anak-anak kelaparan dan sekarat. Suami meninggalkannya entah ke mana. Penyakit di tubuhnya membuatnya ambruk. Hutang menumpuk dan pemberi hutang tak mau tahu. Andai dia tidak cepat mencapai dokter yang mahal, maka anak perempuannya akan mati dipangkuannya yang bau pesing. Tak ada yang bisa dihutanginya. Dia pergi dari kontrakan karena diusir sudah enam bulan tak membayar sewa. Dia mencari pertolongan. Dia berpaling dari Setan karena Setan adalah bapak segala kejahatan. Dia juga berpaling dari Tuhan karena Dia pilih kasih pada yang kaya. Akhirnya dia serahkan diri dan anak-anaknya pada Kematian karena Kematian tak pernah pilih kasih.
Bunuh diri, atau mengakhiri hidup sendiri dengan wewenang sendiri belum menjadi tema yang penting dalam diskusi serius di negri kita. Perhatian terhadap bunuh diri masih sekadar laporan-laporan media massa tentang kasus-kasus bunuh diri beberapa TKW, penduduk melarat di Gunung Kidul, atau anak SD yang berusaha bunuh diri. Suatu hari teman saya mengajak diskusi membahas secuil persoalan etika yang biasa muncul dalam perdebatan mengenai moralitas orang untuk bunuh diri: apakah bunuh diri sesuatu yang baik atau buruk?.
Teman saya sepakat dengan pendapat bahwa membunuh atau menghilangkan nyawa orang lain dengan paksa merupakan tindakan yang secara moral jahat. Tetapi, mengenai keputusan mengakhiri hidup sendiri dengan wewenang sendiri, dia lebih sepakat pada penilaian bahwa hal tersebut harus dinilai dari otonomi tindakan yang dilindungi oleh hak untuk menentukan diri sendiri. Pada umumnya ada dua pandangan mengenai tindakan bunuh diri. Pertama, bunuh diri merupakan suatu tindakan yang secara moral netral, tidak baik dan tidak jahat, selama dilakukan dalam kerangka otonomi diri. Bahkan sayap ekstrim pendukung pendapat ini menyarankan tindakan bunuh diri sebagai salah satu solusi atas persoalan hidup. Saya pikir kita tak usah membahas gagasan yang kontroversial ini.
Pandangan kedua menyatakan bahwa bunuh diri adalah tindakan yang secara moral jahat dan karenanya terlarang. Sebagian besar pendukung pandangan ini mendasarkan diri pada argumentasi teologis. Tuhan melarang tindakan tersebut karena hak hidup dan matinya seseorang hanya Tuhanlah yang berhak mengendalikannya. Dengan kata lain, membunuh atau bunuh diri merupakan tindakan jahat yang mencampuri urusan Tuhan. Argumentasi ‘pemendekan hidup sebagai tindakan jahat’ tidak hanya menyandarkan diri pada sosok Tuhan. Kadang ‘Tuhan’ diganti dengan ‘norma budaya’, ‘kehidupan yang suci’, masyarakat, dan ‘kebaikan bersama’, dan sebagainya.
Dalam diskusi itu saya tidak mengajukan argumentasi untuk memilih salah satu pandangan tersebut. Saya, dan teman saya juga, hanya mengajukan keberatan atas proposisi yang dikemukakan pendukung anti-bunuh diri. Terutama menyoroti kelemahan kaitan logis antara keyakinan tertentu dengan sikap anti-bunuh diri mereka.
Sebagian orang berpandangan bahwa hidup itu bermartabat pada dirinya sendiri. Pandangan ini tidak hanya datang dari orang saleh, teolog, atau praktisi agama yang laris di televisi nasional. Pandangan ini juga datang dari orang-orang ateis yang menganut pandangan hidup bahwa hidup adalah kehidupan tubuh seperti Nietzsche, misalnya. Nietzsche (1844-1900), filsuf Jerman pencetus peringatan ‘Tuhan Telah Mati’ itu, menyatakan dengan sinis dalam salah satu aforismanya:
“Menyerah. Itulah keinginan dirimu, karena itulah kalian menjadi pembenci tubuh... Mereka adalah orang-orang yang jiwanya sakit.
Tidak lama setelah mereka dilahirkan, mereka sudah mulai mati.
Mereka mengkhotbahkan perlawanan terhadap hidup dan semoga mereka kemudian sungguh-sungguh menerapkannya kepada diri mereka sendiri!”.
Nietzsche menyindir Schopenhauer, filsuf pesimis Jerman yang pernah dikaguminya, yang percaya pada tindakan bunuh diri sebagai perlawanan terhadap kehendak-irasional-untuk-hidup yang mendasari keberadaan semesta yang penuh penderitaan ini. Jean-Paul Sartre pun demikian. Bagi ateis dari Prancis ini, pilihan pada bunuh diri berarti mengakui nilai yang dikandung kehidupan. Padahal, seperti halnya pandangan Albert Camus, hidup itu absurd; hidup itu tanpa makna sama sekali. Hidup (dan mati tentunya) tidak baik dan tidak buruk pada dirinya sendiri. Misalnya dia katakan:
“...namun maut itu kutolak dengan segala kekuatanku; bukan karena aku menyukai kehidupanku, tetapi sebaliknya, karena aku tidak menggemarinya. Semakin absurd hidup, semakin maut tidak dapat diterima.”
Bagi kaum nihilis tersebut, bunuh diri berarti membenarkan bahwa hidup itu memunyai makna, yaitu ‘buruk’. Padahal tidak ada nilai apapun di balik kehidupan dan kematian.
Berbeda dengan para ateis ini, argumentasi anti-bunuh diri dari kalangan praktisi agama bersandar pada bernilainya hidup karena hidup adalah anugrah Tuhan yang Mahakasih. Tingginya martabat hidup manusia karena Tuhan memberi jiwa pada manusia yang mengemban misi tertentu yang kiranya penting di dunia ini. Hanya Tuhanlah yang berhak atas hidup-matinya seseorang. Jadi, bunuh diri, seperti halnya membunuh, jahat secara moral karena kita melangkahi hak Tuhan atas hidup-mati kita.
Keberatan terhadap kedua pandangan anti-bunuh diri dari dua kubu, yang secara ironis, bersebrangan di atas bisa diringkas sebagai berikut: Pertama, entah kehidupan itu absurd atau tidak, bagi sebagian orang, hidup memang tidak layak dilanjutkan. ‘Keabsurdan’ hidup tentu suatu yang ‘absurd’ bagi orang biasa. Keabsurdan ini hanya dipahami para filsuf yang punya kemewahan memikirkannya. Bagi sebagian besar orang yang menghadapi kehidupan di luar kafe atau kantor kerja universitas, kadang kala hidup begitu menyakitkan dan rasanya tidak layak dilanjutkan. Padahal, untuk terus bertahan hidup mereka perlu jalan keluar atau semacam persinggahan nyaman dari segala tekanan hidup. Orang perlu persinggahan-persinggahan yang mengabarkan sisi nikmatnya hidup. Kemiskinan yang menyesakkan, rasa malu sosial sebagai orang-orang kalah, keterpinggiran, penyakit tak tersembuhkan yang menyiksa, ketidakjelasan identitas dalam dunia yang serba palsu, dan persoalan hidup lain yang datang bertubi-tubi, yang kadang dibangkitkan oleh sesuatu yang menurut kita sepele; bisa menjadi pembenar bahwa dunia tidak absurd, tetapi memunyai makna, yaitu bahwa ‘kehidupan itu buruk’.
Bagi sebagian orang yang memiliki saluran ventilasi dari persoalan hidup yang berat mungkin hidup masih bisa dilanjutkan. Bagi mereka yang bisa membeli musik, seks, sastra, narkotika, naik haji ke Makah atau ziarah ke Lourdes, atau menikmati hingar-bingar ideologi, tentu hidup yang runyam bisa disegarkan kembali. ‘Percobaan-percobaan’ hidup yang kejam bisa mereka jinakkan dengan menikmati ‘kenyataan lain’.
Bagaimana dengan mereka yang tidak mampu menjangkau semua ventilasi tersebut? Di sinilah agama punya peran penting. Hal inilah yang bisa menjawab sebagian pertanyaan mengapa agama masih bertahan hingga kini. Meskipun sudah diguncang berulang-ulang oleh pemikiran dan praktik anti-agama, agama masih tetap bertahan. Karl Marx, filsuf pencetus komunisme ilmiah itu, percaya bahwa agama adalah bius yang meredakan rasa sakit dalam penderitaan manusia. Agama menyediakan pembaringan dan selimut di kala badai hidup menghampiri. Para praktisi agama tidak perlu cemas kehilangan pekerjaan di masa posmodern ini. Justru di masa ketika kehidupan begitu buruklah, agama bisa bermanfaat dengan baik. Agama menyediakan bius pembuai. Agama menawarkan sorga untuk kesabaran; hikmah untuk penderitaan; dan takdir untuk kesulitan hidup. Tapi sekarang, profesional agama tahu daya jual sebuah kepercayaan. Semakin lama, agama semakin mahal. Buku, kyai, ustad, pengkhotbah, pesantren, mimbar, kian tak-terjangkau rakyat miskin di pinggiran ‘masyarakat adil dan makmur’. Mungkin menghadiri dzikir Arifin Ilham atau Aa Gym tidak akan dipungut bayaran. Mendengarkan khotbah-khotbah pendeta Lumoindong yang menggugah semangat mungkin tak perlu bayar. Tapi sebagai praktek sosial, mengunjungi mimbar-mimbar seperti itu memerlukan modal: uang lebih, jaringan sosial, pengetahuan, waktu luang, rasa percaya diri, dan baju yang wangi. Tidak semua orang memunyai semua perangkat kemewahan ini.
Jadi, menurut saya, ketika orang tidak memunyai perangkat kemewahan sebagai saluran pembuangan atas tekanan kehidupan, dan keyakinan tertentu bertentangan dengan kenyataan yang nyata-nyata dihadapi, maka kenyataanlah yang harus dijadikan dasar pertimbangan menilai tindakan bunuh diri secara moral. Semua spekulasi apakah hidup itu bermartabat, sakral, hak prerogatif Tuhan, jiwa suci yang memunyai misi, atau absurd, tidak harus menjadi imperatif yang lebih diutamakan daripada kenyataan sehari-hari yang menunjukkan bahwa hidup tidak perlu dilanjutkan.
Kedua, keyakinan bahwa menggugat hidup-mati merupakan penghinaan terhadap Tuhan, dalam upaya menolak tindakan bunuh diri sebagai sebagai alternatif, menurut saya mengandung suatu ketidakselarasan pada dirinya sendiri dengan kenyataan. Jika, seandainya, saya percaya pada Tuhan yang memunyai aturan yang, secara spekulatif, tidak bertentangan, dan kemudian Tuhan melarang bunuh diri karena hidup-mati adalah urusanNya, serta dengan alasan karena pemendekan hidup lewat bunuh diri merupakan campur tangan manusia, maka kita juga musti beranggapan bahwa Tuhan melarang pengobatan dan penyembuhan medis. Karena, bagaimanapun, perpanjangan hidup, sebagaimana perpendekannya, akan merupakan suatu usaha campur tangan manusia atas urusan Tuhan.
Jadi, argumentasi tentang kuasa hidup-matinya seseorang di tangan Tuhan yang diajukan untuk menolak tindakan bunuh diri serta mencap pelakunya sebagai salah secara moral, adalah kurang mengena jika kita menilai sebaliknya atas usaha memperpanjang hidup. Tetapi, orang kemudian mengajukan alasan bahwa hidup itu berharga. Buktinya semua masyarakat mempunyai aturan yang menghukum pembunuh.
Itulah dua kesimpulan sederhana atas persoalan moralitas di sekitar bunuh diri yang menjadi sekadar bahan urun rembuk dalam diskusi tentang bunuh diri. Berikutnya saya coba berspekulasi tentang asal-usul bunuh diri.
II
Penderitaan manusia modern yang terbesar adalah tenggelam dalam kesunyian. Nilai tinggi yang diberikan pada hidup dan kehidupan bersumber pada ketakutan manusia pada kesunyian. Kematian adalah kesunyian yang paling padat. Karenanya manusia menciptakan agama, surga, neraka, klenik, suprantural, pahlawan, monumen, atau Tuhan untuk membunyikannya. Manusia secara kultural mau menaklukan semua kesunyian. Peradaban, menurut Kierkegaard, pemikir pilu yang nyentrik dari Kopenhagen, adalah hasil upaya membunyikan kesunyian yang ada di hadapan manusia. Aristoteles sendiri percaya bahwa satu perilaku yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya adalah keingintahuan sistematis terhadap segala sesuatu yang ‘tidak diketahui’; atau dengan kata lain segala sesuatu yang sunyi.
Dalam kesunyian, bersemayamlah kecemasan (angst) atau ketakutan pada yang tak-jelas. Semua kesunyian harus berbunyi. Freud membunyikan bawah sadar, Everest membunyikan puncak gunung, Amstrong membunyikan angkasa, Bohr membunyikan atom, Hawking membunyikan semesta, Einstein membunyikan ruang-waktu, Amerigo dan Columbus membunyikan ‘dunia baru’, para nabi membunyikan kehidupan pasca-kematian, semuanya coba dibunyikan manusia untuk menguasainya.
Berkenaan dengan bunuh diri, para pelakunya mungkin merasakan bahwa kehidupan yang runyam-apapun batasan runyam tersebut-adalah kesunyiannya. Dengan menghentikannya orang membunyikan kesunyian itu.
Seperti diungkap di atas, agama bisa membunyikan kehidupan yang runyam dengan konsep-konsep seperti suratan takdir, hikmah, dosa, surga, atau teori-teori seperti ‘orang sabar dikasihi Tuhan’, ‘semua kesulitan adalah ujian’, atau ‘semua pasti ada hikmahnya’. Tetapi teolog perkotaan menyuarakan bahasa yang aneh dan mahal untuk semuanya. Agama tak lagi mudah dijangkau.
Agama berkembang secara evolutif. Termasuk dengan konsep-konsep yang ditawarkannya. Semakin kini, karena kegiatan teolog di pusat-pusat surplus ekonomi, konsep-konsep keagamaan kian rumit dan dengan ‘bahasa asing’ pula ia disebarkan. Karenanya dalam reformasi Luther, yang pertama dilakukan adalah mengajarkan Kabar Baik lewat bahasa lokal dan menjadikan nyanyian rakyat sebagai pengganti lagu-lagu Gregorian. Segala kerumitan konsep-konsep keagamaan yang diungkap dengan istilah-istilah yang kompleks di mata orang biasa, direproduksi terus-menerus untuk melanggengkan kekuasaan profesi ‘agamawan’. Para teoritisi kepercayaan tersebut menggunakan istilah-istilah kompleks seperti halnya dokter memperlakukan nama-nama penyakit dan diagnosanya. Kuasa pengetahuan diwacanakan untuk kelanggengan profesi mereka. Agamawan bicara agama di televisi atau radio FM tentang manfaat berhaji, penerapan syariat, peradaban agama yang agung di masa lalu, atau pemerintahan Tuhan di bumi. Para pengkhotbah menceramahkan keadilan dan kesederhaan di tempat-tempat ibadah megah; tempat ibadah yang menolak bau dan kumal jemaat mlarat.
Andai evolusi agama-agama hanya mereproduksi Zainuddin MZ, Aa Gym, Arifin Ilham, atau Pendeta Lumoindong, maka Tuhan akan lebih mirip badut gendut yang disewa orang kaya untuk ulang tahun anaknya. Orang melarat semakin sulit menjangkau ‘agama-Nya’. Bunuh diri, yang bisa berarti ketiadaan nilai ‘hidup-dalam-kasihNya’, mungkin akan jadi pilihan favorit orang-orang kalah. Lalu, masih berhakkah kita menghukum pelaku bunuh diri sebagai imoral? Ataukah kita biarkan upaya tersebut sebagai jalan alternatif membunyikan hidup yang buruk?
Simpulnya ada pada jawaban atas pertanyaan: “Seberapa banyak Bunda Theresa di negeri kita yang ‘bertuhan’; yang berkeras menerjemahkan konsep abstrak kemahakasihan Tuhan dalam praktik kesehariannya?”
Labels: filsafat