Monday, August 6, 2007,10:21 AM
Asal-usul Penderitaan
I
Minggu-minggu lalu kita belajar beberapa ajaran filsafat yang sifatnya personal dan eksistensial karena berkaitan dengan persoalan-persoalan hidup keseharian yang dialami individu. Minggu ini kita akan coba memasuki satu bidang filsafat paling purba dalam rekaman sejarah filsafat, yaitu metafisika. Metafisika atau upaya pencarian dasar-dasar realitas yang tampak secara rasional ini dikenal dan digeluti oleh semua peradaban besar. Penting atau tidaknya bidang filsafat ini bergantung pada kita sendiri. Kitalah yang memberi nilai pada segala sesuatu; seperti Adam yang dianugrahi kemampuan memberi nama oleh Tuhan.

Sejak kecil saya diajarkan bahwa pendidikan itu penting, karena tanpanya kita akan menjadi korban kebodohan dan pendapat-pendapat yang salah. Lewat pendidikan, saya akan bisa mengambil keputusan bijaksana dan mampu membedakan antara yang benar dan yang salah. Rasio harus diasah untuk menjadi panduan untuk menilai dan bertindak. Ribuan sekolah didirikan untuk meningkatkan kepandaian orang. Ratusan olimpiade sains diselenggarakan untuk mewadahi siswa-siswa pandai yang bertanding tuk meraih prestasi. Jutaan rupiah diberikan kepada siswa-siswa berprestasi ini. Nilai ijazah yang tinggi sebagai lambang dari kepandaian merupakan salah satu syarat bila ingin bekerja di perusahaan bonafid. Kita hidup di dunia yang begitu menghargai rasio. Kisah sukses teknologi dan ilmu pengetahuan adalah kisah sukses rasio dan rasionalitas. Di jantung semua itu, bila kita tidak ingin disamakan dengan binatang, maka kita harus menggunakan rasio kita melebihi perasaan. Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang dianugrahi akal. Akal menjadi pemandu utama kehidupan untuk meraih predikat ‘khalifah di muka bumi’.

Saya juga diajarkan oleh orang-orang bertaqwa bahwa segala sesuatu pasti ada hikmahnya karena semuanya dirancang oleh Yang Maha Bijaksana. Bila saya tidak menemukan hikmah dari suatu kengerian yang terjadi di sekitar hidup saya saat ini, pasti itu karena jiwa saya belum bijaksana. Sebab, bagaimana pun, semua yang Tuhan ciptakan pasti baik dan selalu mempunyai ‘kabar baik’. Bila ada yang ‘tidak beres’ di dunia ini, maka itu bukan berarti Tuhan salah, tetapi sayalah yang belum mampu menilai secara bijaksana. Saya selalu diingatkan oleh teman saya yang religius bahwa kita hanyalah mahluk lemah yang tidak mungkin melampaui kebijaksanaan-Nya. Dunia adalah tempat terbaik yang mungkin ada. Karena kebodohan saya yang alang-kepalang; yang belum mampu mengambil hikmah, seringkali godaan setan mewujud dalam rupa ‘pikiran yang melayang ke berbagai kisah miris yang dialami manusia dan kehidupan pada umumnya’. Saya tidak habis pikir mengapa mahluk rasional ciptaan Tuhan Yang Mahabijaksana inilah yang justru bisa bertindak irasional dalam segala kekejamannya. Rangkaian kisah kekejaman dan penderitaan dari sejak adanya rekaman arkeologik tentang senjata ribuan tahun lalu hingga hari kemarin dengan perang, pemerkosaan, penindasan, pembantaian etnik, dan penghancuran-penghancuran sebagai lambang-lambangnya, terjadi justru karena manusia adalah mahluk rasional. Saya yang bodoh ini sama sekali tidak habis pikir bahwa Jerman yang dikenal mempunyai tradisi rasional yang ketat mempunyai lembaran pembantaian jutaan manusia dalam sejarahnya. Manusia pula yang menjalankan perbudakan dan eksploitasi atas manusia-manusia lemah yang terpaksa dibayar murah karena butuh sekadar untuk hidup dan melanjutkan keturunan. Dengan upah tak seberapa, gerombolan orang miskin mengantri di gerbang pabrik-pabrik menjual tenaganya. Dan ketika tubuhnya tidak lagi menghasilkan tenaga yang produktif, maka mereka pun dibuang layaknya plastik kresek yang tak terpakai lagi. Manusia pula yang begitu teganya bilang bahwa buruh itu wajar saja diupah rendah karena mereka tidak berpendidikan. Sudah untung mereka dapat pekerjaan di jaman sulit ini, katanya. Riba mungkin hanya dipraktekkan di dunia manusia. Begitu juga perbudakan (di Arab Saudi kontemporer judulnya menjadi ‘kisah sedih TKW’). Lalu, sebenarnya mahluk macam apa manusia itu? Tuhan apa pula yang menciptakan manusia yang konon adalah bayangan-Nya dan dunia tempat manusia hidup yang, menurut saya yang bodoh ini, begitu kejam? Benarkah dunia ini diciptakan Tuhan Yang Mahabijaksana? Benarkah dunia adalah tempat terbaik yang mungkin ada?

Pertanyaan-pertanyaan di atas mau tidak mau membawa kita pada penggalian ke jantung realitas: Apa sebenarnya yang menjadi dasar segalanya? Apa yang menjadi inti terdalam dari realitas? Bila dasar realitas itu sesuatu yang baik, mengapa ada penderitaan di dunia ini? Para filsuf, nabi, budha, atau avatar agung dari banyak peradaban besar menyediakan banyak sekali jawaban, meski jarang yang berbentuk resep-resep siap pakai. Tetapi, tidak semua jawaban bernada positif. Ada yang berpendapat bahwa dasar segala sesuatu bukanlah Tuhan Yang Mahabijaksana atau Rasio Semesta. Realitas tidak digerakkan oleh sesuatu yang rasional. Lahir dan hidup di jaman yang mengagungkan rasio dan rasionalitas membuat saya agak heran bahwa ada segelintir orang Eropa yang pernah menawarkan teori metafisika anti-rasio. Orang itu bernama Arthur Schopenhauer (1788-1860), seorang filsuf Jerman yang tidak terkenal di Indonesia dan fans berat Immanuel Kant (1724-1804). Berangkat dari kenyataan bahwa banyak sekali penderitaan di dunia ini, baik yang dialami individu-individu maupun yang menimpa manusia sebagai spesies, Schopenhauer sampai pada kesimpulan bahwa kisah dunia yang selama ini disandarkan pada Tuhan atau Rasio Bertujuan (seperti teori Rohnya Hegel) ternyata didalangi oleh kekuatan irasional dan tanpa tujuan pula, yaitu Kehendak-Irasional. Jantung realitas yang di situ kehidupan berserta persoalannya memperoleh suplai keberwujudannya dari ‘Sang Kehendak’ yang tak diketahui. Yang jelas Kehendak merupakan dunia noumenal yang melampaui ruang-waktu. Karena di luar kerangka ruang dan waktu, Kehendak itu tidak mungkin diketahui oleh manusia yang terperangkap dalam ruang-waktu. Selain itu, Kehendak itu sendiri bukanlah suatu pribadi layaknya Tuhan dalam agama-agama Semitik. Karena bila Kehendak itu dianggap sebagai pribadi, maka kita mengasumsikan ia terbatas oleh ruang-waktu, karena prasayarat ‘kepribadian’ adalah melekatnya dimensi ruang dan waktu sebagai pembatas identitas yang membedakannya dengan identitas lain. Karena bukan sesuatu yang berada dalam ruang-waktu, Sang Kehendak bukanlah sebab segala sesuatu karena yang mewaktu tidak mungkin disebabkan oleh yang tak mewaktu. Kehendak pun tidak mempunyai tujuan pada dirinya sendiri selain pengekalan kehendak itu sendiri. Kalau bukan Sebab Dasar, lalu apa? Ya, apa ya? Susah juga menjelaskannya. Tapi Pak Arthur bilang bahwa segala sesuatu adalah perwujudan Sang Kehendak. Pada dasarnya dunia fenomenal atau dunia yang di situ ruang-waktu menjadi kerangka pengenalan dan dunia noumenal yang tak diketahui itu merupakan satu kesatuan. Keduanya hanya berbeda dalam kedudukannya di dalam kemampuan manusia menangkapnya. Pada hakekatnya keduanya merupakan satu kesatuan tunggal. Dalam metafisika, teori tentang ini disebut dengan teori aspek ganda.

Schopenhauer sependapat dengan Immanuel Kant bahwa jangkauan pengetahuan kita hanya sampai pada sesuatu yang tampak ke hadapan kita saja (dunia fenomena). Sedangkan realitas pada dirinya sendiri (das Ding an sich) tetap menjadi sesuatu yang tak dikenal. Apa yang secara langsung kita ketahui bukanlah ‘sesuatu’ itu sendiri, tetapi (hanya) gagasan mengenai ‘sesuatu’ tersebut; bukan pohon tetapi gagasan kita tentang pohon, bukan matahari tapi gagasan tentang sang surya. Semuanya itu memang ada sebagai yang hadir menampakkan diri pada kita; mereka hadir sebagai gagasan. Dipikir-pikir memang seperti suatu hil yang mustahal kalau saya sebagai manusia biasa bisa mengetahui sesuatu dari segala sisinya dalam waktu bersamaan. Yang bisa saya tahu cuma bagian dari sesuatu yang menampakkan diri pada saya. Keutuhan sesuatu hanya ada dalam bayangan saya saja. Bagi Schopenhauer, dunia yang kita lihat dan alami atau dunia fenomenal, adalah ‘dunia sebagai gagasan’ (atau sering pula sebagai disebut dengan ‘dunia sebagai bayang-bayang’). Bayang-bayang dari apa? Bersebrangan dengan Kant yang membiarkan das Ding an sich sebagai sesuatu yang pada dirinya sendiri tidak diketahui, maka Schopenhauer berkesimpulan bahwa dunia penampakan (fenomenal) digerakkan, dipengaruhi, dikendalikan, dan diarahkan oleh ‘keinginan-keinginan’. Dunia fenomenal adalah bayangan dari Kehendak. Jadi, hakikat dunia atau dasar segala sesuatu bukanlah sesuatu yang rasional yang mempunyai ‘program’ tertentu (rasio, logos, Idea, Roh Absolut, atau Subjek transendental), melainkan sesuatu yang bersifat tidak rasional. Dan sesuatu di dunia fenomenal yang seolah-olah tampak terprogram (takdir, perjalanan Roh Semesta), hanyalah akal-akalannya akal manusia saja yang risih dengan dunia yang tak bertujuan. Sungguh aneh. Benar-benar aneh. Schopenhauer adalah anak kandung Pencerahan Eropa. Pencerahan berarti kepercayaan pada rasio. Mungkin benar yang dibilang Nietzsche bahwa peradaban Eropa yang menumpukan dirinya pada rasio akhirnya akan digerogoti sendiri dari dalam: Eropa sedang membunuh tuhan-tuhan mereka sendiri, dan Schopenhauer hanya permulaan. Di saat semua filsuf percaya bahwa Rasionalitas merupakan dasar segala sesuatu, dia malah ‘menemukan’ bahwa Irasionalitaslah yang sebenarnya mendasari segala sesuatu. Dalam beberapa aspek teman saya yang posmo berhutang pada gerogotan Schopenhauer.

Persetan dengan semua teori metafisika! Apa ngaruhnya buatku kalo dasar realitas itu rasio atau Kehendak? Toh hidupku begini-begini saja! Tiba-tiba temanku yang skeptik itu berseru dengan nada A mayor. Tenang, tenang sebentar. Kita cuma belajar. Nggak ada salahnya ikuti dulu cerita tentang kehendak ini. Lagi pula kita tidak sedang belajar filsafat analisis yang hanya mempersoalkan konsep dan teori. Kita belajar realitas. Itu sebenarnya tugas filsafat: memperjelas pemahaman kita tentang segala sesuatu.

Schopenhauer menyarankan, coba perhatikan kehidupan kita sehari-hari. Coba selidiki diri sendiri dan sekitaran. Perjalanan hidup tiada lain adalah rangkaian tak putus-putus dari siklus ‘keingingan-meraihnya-kecewa-senang-lalu ingin lagi’. Semua kehendak berawal dari kebutuhan atau kekurangan akan sesuatu. Kepuasan akan mengakhirinya; tetapi setelah setiap keinginan terpuaskan akan ada keinginan-keinginan lain yang minta terpuaskan. Semua kepuasan bersifat sementara saja. Setiap keinginan yang terpuaskan akan digantikan oleh keinginan lain. Kehendak tidak akan pernah puas. Jadi, menurut Schopenhauer, selama kesadaran kita dipenuhi Kehendak; selama kita mengikuti dorongan keinginan dengan harapan dan kekecewaan yang mengikutinya; selama kita menjadi subjek kehendak, maka tidak akan ada kebahagiaan. Kebahagiaan tidak lain adalah istirahat yang cukup dari desakan keinginan-keinginan. Mencapai keinginan atau menghindari bahaya tidak berbeda sama sekali. Keduanya merupakan sebentuk keresahan kehendak yang ingin mewujudkan dirinya.

Kenikmatan, atau dalam istilah Schopenhauer adalah kepuasan yang dirasakan saat keinginan terpenuhi, tiada lain adalah kesenangan-negatif. Artinya kenikmatan itu tiada lain dan tiada bukan adalah istirahatnya kesengsaraan. Kesenangan, kenikmatan, kebahagiaan, tidaklah ada pada dirinya sendiri sebagai substansi. Ia hanyalah cerminan dari tidak hadirnya kesengsaraan. Sebentar, sebentar. Lalu apa yang membuat kita, manusia, masuk ke dalam putaran roda keinginan itu? Kata Schopenhauer ialah hidup kita sendiri. Hiduplah yang membuat kita senantiasa ingin terus-menerus. Inti kehidupan yang membuat keinginan selalu berubah-ubah adalah Kehendak. Hidup tiada lain adalah perwujudan kehendak-untuk-hidup. Ternyata keberadaan saya di dunia atau asal-usul ontologik saya tidaklah seperti anggapan Heidegger yang berhenti pada ‘ujug-ujug’. Bukan pula kewujudan ini diciptakan oleh Tuhan yang Mahabijaksana. Kewujudan saya dengan segala keinginannya ternyata hanyalah secuil bagian dari perwujudan Kehendak Irasional.

II
Dalam kehidupan sehari-hari tidak jarang kita menyatakan bahwa ini penting atau itu penting dan selebihnya tidak penting atau kurang penting. Seolah-olah segala sesuatu yang kita beri nilai itu memang bernilai pada dirinya sendiri. Dan kepercayaan pada substansi nilai-nilai yang melekat pada semua yang berhubungan dengan kita tersebut membawa kita pada banyak kekecewaan. Kekecewaan ini bukan pula bagian dari hakikat sesuatu itu, tetapi hasil dari gerak tak bertujuan dari Kehendak yang selalu berubah. Kehendak yang mewujud dalam kesadaran kitalah yang ‘kecewa’. Seperti kita yang sama sekali tidak sadar bahwa bumi itu bergerak, begitu pula pula sebagian besar dari kita tidak sadar bahwa Kehendak-lah yang menggerakkan segala sesuatu. Kita, tepatnya rasio kita, menggambarkan seolah-olah sejarah semesta dan sejarah manusia merupakan gerak yang berpola dan mempunyai tujuan. Gagasan ini berpuncak pada filsafat Hegel yang mempercayai bahwa gerak sejarah tiada lain adalah gerak Roh Absolut yang mewujudkan diri. Roh Rasional ini bertujuan mencapai kesadaran dirinya dengan mengembangkan keterbukaan rasio. Emansipasi pendidikan, agama individual (protestanisme), ekonomi rasional (kapitalisme), dan politik demokratik, merupakan perwujudan kesadaran Roh Absolut yang mencapai ‘pencerahannya’. Sejarah pasti adalah sejarah rasional seperti diktum Hegel bahwa “Segala yang real adalah rasional; dan segala yang rasional adalah real”.

Pantas saja Schopenhauer yang dikenal sombong itu begitu membenci Hegel. Keduanya sampai pada penemuan yang berseberangan. Tapi, karena manusia lebih suka ‘mendengar’ bahwa sejarah kita atau hidup kita mempunyai tujuan, dan tujuan itu mencapai sesuatu yang lebih baik, maka kuliah Schopenhauer yang waktunya disamakan dengan jam kuliah Hegel, sama sekali sepi pengunjung.

Schopenhauer benar-benar tidak mengajarkan determinisme. Kehendak buta yang menggerakkan segala yang ada itu tidaklah punya tujuan apapun selain mewujudkan dirinya sendiri. Perwujudan Kehendak yang paling sengsara adalah kita, manusia. Mengapa? Karena kitalah satu-satunya yang punya kesadaran. Kitalah yang punya potensi untuk menyadari bahwa segala sesuatu itu berasal dari kehendak belaka. Pengalaman penderitaan kita tidak hanya dirasakan, tapi juga bisa dipikirkan. Tetapi, menurut Schopenhauer yang jelas-jelas mengikuti jejak Sang Budha, perwujudan yang paling bisa bahagia adalah kita juga dengan syarat bahwa kesadaran kita mampu memahami kenyataan dasar dan menghindari sebisa mungkin desakan-desakan Sang Kehendak.

III
Sekarang ini, mau tidak mau kita lahir dan hidup dalam masyarakat tempat sistem kapitalisme merupakan satu-satunya tatanan yang ‘rasional dan benar’. Segala yang dilakukannya (harus) tampak rasional. Bukankah meraih laba dan mengumpulkannya untuk memperluas kapital yang bisa digunakan untuk meraih laba kembali merupakan sesuatu yang tidak hanya wajar tapi juga ‘rasional’? Bukankah upah buruh dibiarkan tetap lebih rendah dari penghargaan kita pada peningkatan mesin itu tindakan ‘rasional’ untuk meningkatkan laba? Bukankah undang-undang perburuhan yang menyuburkan sistem kerja kontrak dan membatasi buruh untuk memperoleh tunjangan-tunjangan dan menghindari beberapa jenis pajak itu rasional untuk meningkatkan keuntungan perusahaan? Bukankah mempekerjakan perempuan yang dalam undang-undang selalu dipandang sebagai ‘single’ sehingga tidak perlu mendapat tunjangan dan akhirnya mengurangi biaya produksi merupakan pilihan rasional? Cukup. Cukup sudah! Kalau kita jejerkan berbagai pertanyaan dalam otakmu yang sok marxis itu, mungkin diskusi ini tidak akan pernah selesai! Ya, ya baiklah aku berhenti bertanya. Tapi tolong bicarakan juga ini.

Perwujudan Kehendak-buta dalam ‘sejarah’ manusia yang paling jelas adalah sistem ekonomi kapitalis. Sistem ini sepertinya mengendalikan segala seluk beluk kehidupan kita. Bahkan dalam lembaga yang menghubungkan individu dengan ‘Tuhan’nya sekali pun. Norma yang hampir universal yang dibawa oleh perwujudan ini erat berkaitan dengan ‘kehendak untuk akumulasi kapital’, perluasan kuasa ekonomi (dan politik), dan eksploitasi atau penaklukan alam serta manusia. Mengejar laba sebesar-besarnya dan perluasan terus-menerul kapital adalah nilai yang utama. Globalisasi dianggap sebagai takdir dan merupakan hasil perkembangan tak-terelakkan dari sejarah manusia. Tindakan-tindakan ‘yang benar’ haruslah berkaitan dengan norma dan nilai yang dibawa ‘Sang Perwujudan’. Kita baru dianggap rasional bila membenarkan nilai dan norma tersebut. Padahal, dalam kacamata Schopenhauer, penggerak utama dari pencarian sebesar-besarnya keuntungan dan mengakumulasinya ini tiada lain dan tiada bukan adalah Kehendak buta yang selalu tidak pernah puas. Tidak ada rasio dalam perang pendudukan demi minyak di Timur Tengah. Tiada pula ada takdir Tuhan dalam penindasan dan eksploitasi kaum pekerja di seluruh dunia. Tapi, meski demikian manusia selalu saja mencari-cari pembenaran atas segala yang terjadi. Entah dalam bentuk logika memberantas terorisme atau ‘mengamankan’ bangsa dan negara dari anasir-anasir subversif. Para ‘pemberontak’ di pedalaman Papua diangap penggangu keamanan nasional; buruh-buruh yang menuntut kenaikan upah dianggap orang tak tahu diri.

Itulah gambaran dunia kita. Dunia rasional yang berakar dalam kekuatan Irasional: Kehendak untuk akumulasi kapital. Lalu apa yang harus kita lakukan? Entahlah, saya sendiri bukan dokter peradaban yang punya resep-resep siap pakai untuk siapa pun di mana pun. Sayang sekali memang. Tetapi kalo boleh usul kita mesti melakukan perlawanan. Bukan secara langsung kepada Kehendak buta sebagai dasar metafisik realitas kejam ini. Mungkin kita bisa melakukan perlawanan kepada rasionalisasi kenyataan. Akuilah bahwa (tidak) semua yang ada sebagai sesuatu yang rasional. Jangan pula meyakini seratus persen bahwa semua ada hikmahnya. Ada banyak fenomena yang tidak ada hikmahnya. Tidak perlu takut dianggap sebagai murid Machiavelli atau Nietzsche. Jangan pula gentar dianggap kafir karena mengikuti Buddha dalam beberapa hal. Kenapa menggabungkan Machiavelli, Nietzsche, dan Sang Budha dalam satu kamar? Bukannya mereka berbeda? Memang. Memang mereka berbeda dalam jalan keluar, tetapi mereka menemukan ‘sebab’ yang sama: realitas tidak berakar dari Rasio, Keteraturan, Tuhan dan sejenisnya itu; realitas hanyalah pantulan dari Kehendak Irasional yang sama sekali tak punya tujuan. Tidak ada ujung sejarah yang lebih baik dari saat ini. Sejarah tiada lain adalah pertarungan antara yang menindas dan yang tertindas. Kebenaran tiada lain adalah kebenaran mereka yang menindas. Memang kita tidak perlu sejalan dengan Arhat yang menyingkir dari dunia nyata ke kesunyian sebagai jalan satu-satunya bebas dari penderitaan. Kita harus seperti Bodhisatva yang terjun ke dunia untuk ‘membebaskan’ manusia dari jerat Maya; Maya yang mengelabui kita dengan pandangan palsu bahwa realitas begitu indahnya, begitu damainya, begitu benarnya. Kini, Maya yang harus kita hadapi itu bernama Kapitalisme dan Demokrasi Liberal yang oleh Fukuyama dianggap sebagai akhir dari penemuan manusia. Tidak! Sejarah belum berakhir. Kapitalisme dan Demokrasi Liberal bukanlah satu-satunya sistem terbaik yang pernah dicipta manusia!

Sudah, sudahlah. Sepertinya kamu ngelantur tak jelas ke sana ke mari. Tafsir macam apa yang dengan sok tahu mengait-ngaitkan Schopenhauer dengan Karl Marx? Yang menghubung-hubungkan Dunia sebagai Kehendak dan Kapitalisme? Sudahlah jangan sok tahu begitu. Tidak ada risalah metafisika yang ditulis seburuk ini. Ya, mungkin tulisan ini seperti lanturan. Atau mungkin bukan mungkin, tapi memang benar-benar lanturan saja. Jadi, tulisan ini tidak usah ditanggap serius. Yang harus dihadapi serius adalah nyatanya penderitaan banyak sekali orang di kolong langit biru ini yang hidup dalam penghisapan sistem irasional bernama kapitalisme.

Malam sudah masuk. Kali ini sepertinya Dewi Imajinasi tidak mewahyukan cerita-cerita penutup seperti yang sering Dia lakukan minggu-minggu lalu. Yang ada di sudut meja tulis pun cuma selembar potongan koran berisi berita revisi undang-undang perburuhan

Labels:

 
posted by abdulkarim_aljabar
Permalink ¤