Monday, August 6, 2007,10:27 AM
Seks
I
Dari rahim seorang perempuan saya dilahirkan. Karena bukan nabi, tubuh saya diproduksi dari sperma dan ovum lewat hubungan seks. Asal-usul biologis saya dari sana. Saya tidak tahu apakah saya ini diciptakan oleh Tuhan atau tidak. Yang jelas-jelas jelas adalah bahwa lewat seksualitas saya bisa ada di dunia ini. Big Bang pertama yang memunculkan saya dari singularitas dan menjadi manusia adalah seks. Selain itu, kalau diingat-ingat, identitas sebagai manusia hanya dibatasi oleh dua peristiwa hidup: kelahiran dan kematian. Itulah batas-batas keberadaan saya sebagai tubuh. Banyak nabi dan filsuf bicara soal kematian dan kehidupan setelahnya, tapi tak pernah habis pikir mengapa seks, sebagai bagian terpenting awal ‘penciptaan’ sulit ditemukan dalam karya-karya filsuf besar. Memang Plato, dalam beberapa dialognya, terutama Symposium, pernah usil membahasnya. Schopenhauer juga pernah dalam karya besarnya Dunia sebagai Kehendak dan Bayang-bayang. Tapi dua orang itu tak ada artinya dengan ratusan tokoh besar lain yang adem-ayem saja soal seks. Apakah karena filsuf-filsuf Eropa adalah laki-laki normal? Kalau laki-laki normal memangnya kenapa? Mengapa juga kalau bicara seks harus selalu dikaitkan antara ‘perempuan dan seksualitas’? Sesuci apa sih seksualitas laki-laki sampai-sampai tabu dibicarakan? Apakah karena sejarah manusia yang pernah menempatkan (hanya) penis sebagai perwujudan dewa tertinggi? Kembali ke soal seksualitas perempuan, Apa sih bedanya ibu rumah tangga dengan pelacur? Apakah karena yang terakhir menjual ‘kekuatan produksinya’ demi uang, sedangkan yang pertama demi Tuhan dan moralitas masyarakat? Semakin lama bengong, tambah banyak tanya yang bersliweran ke sana ke mari. Datang dan pergi seperti mengejek kecerdasan akal yang diasah bertahun-tahun di sekolah. Tulisan ini sama sekali bukan traktat filsafat yang ingin membuktikan ini atau itu. Tulisan ini juga bukan risalah filsafat yang menganalisis ini atau itu. Sama sekali bukan. Tulisan ini sekadar sebentuk penuangan atas pengalaman-pengalaman saja. Bisa bernilai, bisa juga hanya sampah. Toh tak ada nilai sesuatu pada dirinya sendiri. Manusialah yang memberi makna pada sesuatu, bukan sesuatu itu sendiri.

Dibilang bagaimana pun, ditutupi serapat apapun, kenyataan tetap kenyataan: saya hanyalah anggota dari spesies mamalia bernama Homo sapiens. Seperti mamalia lainnya, saya bertubuh. Kalau boleh mengutip Merleau-Ponty, “aku adalah tubuhku”. Di tubuh ada tangan, kaki, kepala dan segala isinya yang terhormat itu, perut dan segala isinya, hidung, mata, telinga, dan akhirnya alat kelamin. Seperti mamalia lain, semua perkakas tersebut merupakan alat adaptasi. Setiap perkakas punya fungsi masing-masing. Alat kelamin, misalnya, digunakan untuk berhubungan seks; bukan untuk makan atau mendengar. Dan hubungan seks atau berinteraksinya alat kelamin tiada lain untuk reproduksi spesies; melanjutkan keberadaan spesies di dunia ini. Apanya yang berbeda dari mamalia lain? Tentu saja ukuran. Letak, kegunaan, dan berat jenis sama sekali sama. Mungkin ada yang bilang bahwa alat kelamin kita berbeda karena kita berakal budi yang dengannya kita punya kebudayaan. Alat kelamin ini dikerangkai norma dan nilai-nilai dalam ‘tindakannya’ karena menjadi bagian dari tubuh manusia yang hidup dalam masyarakat. Mungkin benar, tapi nilai itu, sekali lagi, hadir jauh setelah evolusi biologik menghasilkan alat kelamin. Seksualitas berakar dari biologi. Titik. Asal-usulnya di dunia fenomenal adalah biologi. Entah kemudian menjadi ekonomi atau politik bukan urusan alat kelamin. Yang jelas dasarnya adalah biologik. Yang menjadi persoalan kemudian adalah kerangka budaya yang ‘mengawasi’ kelamin dan gerak seksualitasnya. Setiap masyarakat di suatu jaman punya norma yang tidak sama dengan budaya masyarakat lain di lain jaman. Norma-norma yang mengatur, mengawasi, atau ‘mendisiplinkan’ kelamin sering dianggap sebagai sesuatu yang sudah dari sananya seperti itu; dianggap sebagai titipan Tuhan yang dijatuhkan dari langit untuk kesejahteraan manusia. Padahal, sekali lagi, nilai (dan berarti juga norma) terhadap sesuatu, tidak terkecuali terhadap kelamin, merupakan hasil dialog antara kehidupan nyata dengan lingkungan nyata yang dihadapi masyarakat; hasil dialektika kesadaran dan kenyataan material. Tetapi, sekali lagi, jangan dianggap dialektika ini terjadi antara semua lapisan masyarakat dengan pengalamannya. Segelintir elit masyarakat membuat norma-norma yang mereka anggap ‘menyejahterakan’ masyarakat. Dengan mulianya, elit-elit ini menciptakan dan menetapkan aturan-aturan terhadap kelamin dan gerak seksualitasnya.

Dalam kehidupan masyarakat yang terus-menerus berevolusi membuat jaring-jaring norma sampai menjadikan manusia narapidana dalam jaring yang dibuatnya sendiri, seks dibuat seolah-olah terputus dari akarnya: kelangsungan spesies. Seksualitas menjadi jahat dalam beberapa kasus. Atau ditutupi oleh ideologi tertentu, seperti cinta romantis misalnya, dalam kasus lain. Perilaku dan pelaku seks dipilah-pilah ke dalam kategori antara ‘yang benar’ dan ‘yang tidak benar’. Dulu saya pikir semua masyarakat di semua jaman sejak manusia pertama diciptakan memraktekkan perkawinan sebagai lembaga sah untuk hubungan seks. Dulu juga saya pikir bahwa praktek perkawinan semua masyarakat di dunia ini sama dengan yang dipraktekkan oleh orang di kampung saya. Ternyata tidak. Di Tiongkok, orang Han sangat tabu bicara seks. Hubungan seks mereka diatur begitu ketat. Sedangkan beberapa sukubangsa di Tiongkok selatan yang menerapkan penarikan garis keturunan dari jalur perempuan (matrilineal) sangat terbuka soal seks. Setiap gadis usia 9 tahun sudah harus diajarkan berseks oleh ibunya. Ketika ia menemukan tambatan hatinya, laki-laki tersebut tidaklah menjadi suaminya yang tinggal dalam satu tempat. Laki-laki itu hanya harus datang pada waktu tertentu untuk ‘memberikan’ benihnya. Praktek ini mungkin sekali terdengar kasar bagi kita orang Indonesia yang luhur budinya. Apalagi bila saya ceritakan praktek kawin bangsa Nanyar di suatu tempat di India yang sama sekali tidak ada ‘perkawinan’. Laki-laki tidak begitu penting karena garis keturunan ditelusuri dari jalur perempuan, maka siapa pun laki-laki yang menghamili tidaklah masalah. Yang penting adalah siapa perempuan yang melahirkannya. Alasan ‘rasional’ yang mendasari pembolehan poligami dalam beberapa masyarakat biasanya berkisar pada argumen bahwa agar si anak tidak bingung siapa bapaknya. Jelas argumen ini muncul dari masyarakat yang menganut dan memraktekkan patrilineal yang mementingkan garis keturunan dari jalur laki-laki. Jadi, sekali lagi, aturan itu bukan datang dari Tuhan yang Mahabenar, tapi dari sistem masyarakat yang berlaku. Kalau pun memang ‘Tuhan’ yang mewahyukan aturan tersebut, mungkin, seperti dalam teori agamanya Durkheim, Tuhannya tiada lain adalah masyarakat sebagai kesatuan yang dipersonifikasi dan disucikan. Sudahlah jangan pamer pengetahuan antropologimu! Aku tahu kamu pernah kuliah di jurusan itu. Aku juga tahu ada banyak masyarakat yang praktek pengaturan seksnya tidak sama dengan di kita, seperti di beberapa bagian di Tibet yang seorang perempuan harus menikahi semua saudara laki-laki suaminya dan mereka tinggal di satu rumah. Baiklah. Hal yang ingin saya sampaikan di paragraf ini adalah bahwa norma dan nilai atas kelamin dan gerak seksualitasnya tidaklah sama di semua masyarakat. Artinya norma dan nilai yang memilah antara ‘yang benar’ dan ‘yang salah’ diciptakan oleh masyarakat. Dan dalam masyarakat tersebut sekelompok elit yang nganggurlah yang menciptakan norma-norma tersebut. Seperti yang sedang terjadi di Indonesia, segelintir elit masyarakat merumuskan UU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Dan jelas mereka bukan budha tanpa kepentingan atau Tuhan Mahabenar yang polos.

II
Minggu kemarin kita bicara soal Schopenhauer dan teori kehendaknya. Dunia Noumenal yang merupakan hakikat terdalam semua keberadaan merupakan dunia tunggal tanpa identitas yang bergerak tanpa rencana. Hanya perwujudannya di dunia fenomenal saja gerakannya bisa disadari. Schopenhauer menawarkan teori aspek ganda yang menerangkan bahwa pada dasarnya dunia ini adalah satu adanya. Pembedaan antara dunia noumenal dan dunia fenomenal hanya dalam kesadaran manusia saja. Aduuuh, inikan teori metafisika paling tua dalam sejarah manusia. Jelaskan dong dengan contoh yang gampang. Jangan bikin aku muak dengan filsafat! Oke...oke, baiklah akan saya coba. Kita tahu listrik. Sebagai energi pada dirinya sendiri listrik adalah satu. Ia adalah energi. Titik. Listrik tidak bertujuan sama sekali. Ia merupakan energi buta yang bergerak membabi-buta tanpa tujuan. Tetapi dalam dunia sains dan teknik elektronik, listrik mewujud dalam rupa cahaya lampu, suara radio, dering hp, gerak robot, atau gambar video. Perwujudan-perwujudan listrik di ‘dunia fenomenal’ tersebut beragam dan seperti punya tujuan-tujuan logik tertentu. Tapi, dalam dirinya sendiri, listrik tetaplah energi besar yang buta dan tak-terpilah. Ialah kenyataan dasar dari segala ‘cahaya, suara, deringan, gerak, atau gambar’ di dunia fenomenal. Pernahkah kita mengetahui listrik itu seperti apa? Tidak. Kita hanya bisa mengetahuinya dalam bentuk perwujudannya. Begitu pula kehendak sebagai hakikat terdalam realitas. Kita hanya bisa mengetaui kehendak dalam bentuk perwujudannya. Entah dalam rupa tumbuhan, binatang, atau manusia. Bagaimana, masih pusing? Biarkan saja karena filsafat bukan untuk menganalisis secara ketat preposisi-preposisi filosofis. Tugas utama filsafat adalah membantu kita untuk melihat dunia nyata sehari-hari yang pada dasarnya njlimet ini dengan lebih sederhana dan memahaminya untuk kepentingan keberadaan kita sebagai eksistensi di dunia supaya hidup lebih hidup.

Secara iseng menghubungkan teori kehendak Schopenhauer dengan gerak seks di dunia fenomenal ini sepertinya menarik juga. Alat kelamin tiada lain satu perwujudan energi kehendak. Begitu pula dengan gerak seksualitasnya. Seperti alat elektronik di atas, perwujudan ini hanya sarana bagi kehendak untuk mewujudkan dirinya dan mengekalkan dirinya sendiri. Tidak ada tujuan rasional apapun yang melandasi mengapa suatu masyarakat menganut praktek seksual seperti ini atau itu. Benarkah dengan adanya undang-undang anti pornoaksi dan pornografi kehidupan masyarakat kita lebih baik? Benarkah ada kaitan langsung antara seks dengan moralitas? Benarkah bila anak-anak kita dilindungi dari tontonan berbau seksual akan menjadi orang baik yang tidak korupsi, tidak mengeksploitasi kaum lemah, dan memperlakukan perempuan dengan lebih baik? Benarkah ‘kebejatan moral’ yang katanya indikator utamanya adalah seks berkaitan langsung dengan budi luhur masyarakat? Benarkah ada yang namanya ‘seks yang benar’ dan ‘seks yang salah’ sebagai kenyataan? Bukankah semuanya itu hanya gagasan? Atau ‘kenyataan’ sendiri hanyalah jejaring gagasan yang memerangkap manusia di dalam ciptaannya sendiri seperti yang diyakini kaum pascastruktural? Dalam filsafat Budha, dan juga Schopenhauer, kenyataan di dunia fenomenal hanyalah maya atau gagasan. Seperti kita bicarakan minggu kemarin, dengan mengikuti Kant, Schopenhauer meyakini bahwa sesuatu-pada-dirinya-sendiri (das Ding an sich) adalah ‘sesuatu’ yang tidak bisa kita ketahui, meski kita bisa mengenalnya. Yang hanya bisa kita ketahui sebagai manusia yang menjadi bagian dari dunia fenomenal yang berkerangka ruang-waktu, adalah ‘bayang-bayang’ atau gagasan-gagasan tentang sesuatu tersebut. Karena keterbatasan kita yang terperangkap dalam jaring ruang-waktu, hanya gagasan tentang sesuatu yang menampakkan pada diri kita sajalah yang potensial kita ketahui. Kumpulan gagasan-gagasan yang diperoleh dari pengalaman dirangkai sedemikian rupa sehingga dalam kesadaran kita mewujud ‘sesuatu’. Kita meninggali dunia yang kita buat sendiri. Itulah tema besar dalam buku Schopenhauer Dunia sebagai Kehendak dan Gagasan (The World as Will and Ideas). Pada hakekatnya seks sebagai das Ding an sich tidaklah jahat atau sakral. Kitalah yang melekatkan atribut-atribut tersebut pada seks. Semuanya hanya ‘cahaya-cahaya’ beraneka ragam yang merupakan perwujudan dari energi yang sama: kehendak metafisik. Yang kita ketahui tentang seks pun bersifat sebagian dan terputus-putus. Yang jelas-jelas jelas dalam kerangka teori kehendak adalah bahwa seks dengan segala atributnya merupakan bagian dari dunia fenomenal. Sebagai bagian dari dunia fenomenal, seks tiada lain adalah perwujudan dari sang kehendak. Dalam filsafat kehendak, alat kelamin tidak begitu beda dengan otak atau perut. Keberadaan dan ‘fungsinya’ dalam kehidupan ini adalah untuk melayani sang kehendak mempertahankan keberadaannya.

Dari tadi kamu banyak ngulang-ngulang pernyataan. Membosankan. Ya, memang membosankan. Apakah aku harus minta maaf atas kekurangan yang sulit kuhindari ini? Untuk sekali ini beri saya maaf itu. Tapi tidakkah sekalipun coba renungkan sejenak betapa dunia tempat kita tinggal adalah dunia yang selalu mengulang penyataan-pernyataannya. Coba bacalah sejarah. Pengulangan merupakan bahasa resmi yang digunakan dunia ini untuk menulis kisahnya yang oleh banyak filsuf dianggap rasional dan menuju ke kemajuan. Apa bedanya penyerbuan Amerika ke Irak dan Afganistan dengan serangan Ogodei atau Timur Lenk atas Transaxonia? Apa bedanya perburuan budak-budak dari Afrika dengan penjualan TKW? Bedanya cuma satu: kita punya gagasan dan nama baru atas semua itu. Dunia ini adalah perulangan yang abadi, kata Nietzsche. Kekekalan tidak ada di luar dunia ini. Dunia inilah kekekalan itu sendiri. Semuanya berulang secara abadi. Dalam kenyataan seperti ini masihkah kita membanggakan keberadaan diri kita di atas yang lain? Apa yang bisa dibanggakan sebutir debu dalam maraton besar semesta tanpa arah ini? Tiba-tiba temanku yang skeptik itu teriak sekeras-kerasnya. Tidak! Jangan percaya teori kepasrahan ini! Aku sudah paham arah teori kehendak Schopenhauer. Dia ingin kita yang tertindas menyerah! Dan menganggap segala upaya perlawanan terhadap penindas sebagai sesuatu yang sia-sia belaka. Paling tidak kita adalah debu yang berkesadaran dan dengan bantuannya kita bisa menjadi debu yang nyeleneh! Sudah cukup! Mengapa kita ribut ke tema ini, bukankah tema perulangan abadi adalah tema untuk dua minggu ke dapan?! Sudahlah sekarang kita sedang bicara soal seks. Titik.

III
Dalam dunia kita seks juga diekonomikan. Seks merupakan sarana pertukaran. Ketika kepemilikan seks bersifat kolektif, pertukaran terjadi secara kolektif. Klan A menyediakan perempuan untuk klan B, klan B menyediakan perempuan untuk klan C, dan klan C menyediakan perempuan untuk klan A. Keluarga-keluarga mempertukarkan kelamin anggota mudanya dengan seperangkat alat kerja, hewan ternak, atau barang berharga lainnya dan menyebutnya mas kawin atau harga-kawin. Dalam perkawinan politik, kepala keluarga penguasa akan mengawinkan anaknya dengan anak dari keluarga penguasa atau keluarga yang mendukung kekuasaannya. Ini tidak terjadi di suatu masa saja. Coba perhatikan perkawinan-perkawinan kalangan elit. Siapa kawin dengan siapa, keluarga mana berbesan dengan keluarga mana tidak terjadi secara kebetulan. Semuanya merupakan sebentuk pertukaran. Hanya saja yang dipertukarkan adalah anak. Dalam dunia feodal, kepemilikan pribadi sudah ada tetapi masih barada di tangan segelintir elit masyarakat. Dalam masyarakat ini seks menjadi milik penguasa feodal. Gundik dan harem merupakan lambangnya. Dalam dunia kapitalis, ketika kepemilikan pribadi muncul sebagai lembaga terpenting yang memungkinkan akumulasi kapital, alat kelamin menjadi sarana produksi milik pribadi. Pelacuran dan hidung belang merupakan lambangnya.

Dari ‘hukum alam’ seperti gravitasi hingga tatanan masyarakat kita anggap sebagai kosmos atau keteraturan. Padahal semuanya berisi pertarungan-tanpa-akhir dari kehendak-kehendak partikular yang ada banyak itu. Kemudahan manusia sebagai spesies meneruskan kehidupannya haruslah dibayar dengan penderitaan tak terbatas demi pelangsungan hidup masing-masing manusia. Masing-masing menjadi mangsa dan pemangsa yang tujuannya adalah penerusan hidup tiap mahluk itu sendiri. Di situ ada kehendak untuk hidup yang sebenarnya adalah manifestasi kehendak buta yang hanya menghendaki pengekalan berkehendak. Pelacur menjajakan seks untuk bertahan hidup dan melanjutkan penderitaan yang dipikul sejak lahir. Hidung belang melacur dan mereguk sekejap kepuasan untuk kecewa dan terus-menerus menginginkan kepuasan. Di atas ada pertanyaan: Apa sih bedanya seks ibu rumah tangga dengan seksualitas pelacur? Apakah karena yang terakhir menjual ‘kekuatan produksinya’ demi uang, sedangkan yang pertama demi Tuhan dan moralitas masyarakat? Ya, itulah bedanya. Dalam rantai kepuasan-kekecewaaan yang tak berujung-pangkal dari manifestasi kehendak, keduanya tidak berbeda sama sekali; keduanya hanya perwujudan kehendak. Keduanya merupakan setitik debu dalam rantai tak-terputus gerak kehendak. Tapi dalam dunia fenomenal keduanya berbeda bergantung gagasan yang manusia ciptakan untuk keduanya. Norma dan nilai yang dilekatkan pada sesuatu adalah penyembunyi motif sebenarnya. Kehendak yang meringkuk di dasar segala tindakan dibungkus dengan banyak dekorasi. Rasiolah yang bertugas membungkus motif-motif sebenarnya dengan pernyataan-pernyataan yang lebih ‘bisa diterima’ masyarakat. Aku mengenakan pakaian ini karena jenis pakaian seperti ini memang ajaran Tuhan. Aku menikahinya karena aku mencintainya. Aku melanjutkan pendidikan ke universitas supaya bisa meningkatkan ilmu dan pengetahuanku. Aku menikahinya karena dia orangnya baik hati, bijaksana, cantik, dan pintar.
Dalam dunia fenomenal, kehendak mewujud dalam berbagai bentuk kehidupan yang punya banyak dimensi. Keberadaan segala sesuatu sekadar alat reproduksi kehendak. Seperti halnya listrik yang mewujudkan diri dalam berbagai bentuk, perwujudan kehendak semakin diperhalus, diperhalus, dan diperhalus oleh berbagai lembaga, gagasan, norma, dan nilai-nilai yang menyelimutinya. Bila kita kuak selimutnya, maka terbukalah tabir segala sesuatu (termasuk diri kita sendiri): perwujudan kehendak.

Malam tambah larut. Di langit kelam bertaburlah bintang-bintang. Di hadapan saya berbarislah kata-kata Schopenahauer:

“Manusia seringkali menyembunyikan motif-motif dari kelakuannya di depan semua orang, bahkan kadang-kadang menyembunyikannya dari kesadaran dia sendiri, misalnya dalam kasus di mana seseorang malu untuk mengakui motif sebenarnya yang mendorong dia melakukan tindakan ini atau itu”

Labels:

 
posted by abdulkarim_aljabar
Permalink ¤