Bacaan:
1. Toward a Critique of Hegel’s Philosphy of Right: Introduction [1843, MS, 23-39]
2. Theses on Feuerbach [MS h. 80-83]
Pertemuan minggu lalu berhenti di titik perdebatan antara Hegelian Tua dan Hegelian Muda. Perdebatan berkisar pada persoalan apa yang musti dilakukan ketika Roh mencapai Pengetahuan Absolutnya, pengetahuan yang menghantar Roh mengenali hakikatnya sebagai Yang Bebas. Di dunia material, perwujudan pencapaian ini adalah gagasan serta praktek Negara Hukum dan Protestanisme.
Hegelian Tua menekankan hanya Yang Nyata sajalah yang rasional. Sesuatu itu benar karena ia nyata. Patokan rasionalitas adalah kebertahanan di dunia nyata. Negara Hukum dan Protestanisme merupakan wujud dari Yang Rasional karena keduanya nyata saat ini dan kedudukannya lebih tinggi dari pencapaian sejarah sebelumnya. Segala bentuk praktek kehidupan nyata yang hendak mengubah atau meruntuhkan keduanya secara moral tidak baik karena menantang Kehendak Rasional yang mewujud itu. Semua harus menyesuaikan diri dengan perwujudan nyata Yang Rasional ini. Sia-sia belaka menentangnya karena Sejarah sudah menentukan pilihannya.
Hegelian Muda menekankan hanya Yang Rasional sajalah yang nyata. Mereka mengkritik kecenderungan Hegelian Tua untuk mengabaikan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan nyata. Di dalam yang nyata tidak jarang didominasi penyimpangan dari patokan rasional dan keyakinan buta yang irasional. Menurut Hegelian Muda, kenyataan menunjukkan adanya ketidakberesan. Kebebasan yang mustinya berlaku dalam Negara Hukum, nyatanya tidak. Negara bersifat represif dan tindakan negara sama sekali bukan cermin kepentingan semua orang. Negara sama sekali bukanlah wujud Kebebasan. Hasilnya adalah keterasingan politik individu-individu. Orang-orang tidak merasakan kepentingannya terwakili dalam perundang-undangan, kebebasannya terkungkung oleh praktik otoriter negara yang pura-pura jadi Negara Hukum.
Bagi Hegelian Muda, tingkat ke-nyata-an suatu lembaga sosial harus diukur dengan seberapa rasionalnya ia. Untuk mencapai ke-nyata-an itu, bisa jadi perlu perombakan radikal atas lembaga-lembaga yang ada. Karena kemungkinan untuk meruntuhkan lembaga-lembaga sosial secara fisik tidak ada, maka semangat kritis diwujudkan ke dalam tindakan-tindakan kritik terhadap lembaga-lembaga yang ada sehingga rasionalitas bisa betul-betul menyatakan dirinya ke dalam sejarah. Mengikuti dialektika Hegelian, mereka memandang banhwa perubahan mencapai yang rasional tidaklah selalu lurus dan mulus-mulus saja. Penentangan atau negasi (dalam hal ini kritik terhadap pemikiran dan praktek lembaga-lembaga sosial) merupakan jalan satu-satunya demi pencapaian hakiki kebebasan. Hasilnya, Hegelian Muda menantang semua lembaga sosial yang ada saat itu.
Tetapi, karena sensor negara atas kritik-kritik terhadap pemerintah dilarang, maka sebagian besar kaum Hegelian Muda mengalihkan mulut kanon penghancurnya ke bangunan lembaga keagamaan Jerman, Kristianitas (penulis-penulis terkenalnya antara lain David Strauss, Bruno Bauer, dan Ludwig Feuerbach). Kritik terhadap Kristianiatas sebenarnya hanya merupakan jalan putar untuk menghantam konservatifnya lembaga politik.
Pemikiran Feuerbach berkebalikan dengan Hegel. Penggerak sejarah bukanlah kekuatan spiritual tetapi kondisi-kondisi material tempat manusia berinteraksi satu sama lain dari waktu ke waktu. Kondisi material inilah yang mengerangkai tindakan dan pemikiran manusia mengahadpi kehidupannya. Dalam perjuangannya menghadapi kondisi material, tidak jarang manusia mengalami kegagalan. Kegagalan iini mengantar manusia ke pelampiasan spiritual ciptaan mereka sendiri, baik secara sadar atau pun tidak. Ketika kondisi kehidupan nyata menjadi tembok penghalang mencapai tujuan, manusia menciptakan kehidupan tak-nyata. Biarlah di kehidupan nyata tak ada kebahagiaan, toh di akhirat nanti kebahagiaan menjadi milik kita.
Bagi Feuerbah, bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tapi manusialah yang menciptakan Tuhan dari serpihan kehancuran dirinya sendiri yang tak mampu meraih kebahagiaan di dunia nyata. Pemikiran keagamaan hanyalah pantulan kondisi material. Penderitaan yang dialihkan ke pemikiran tentang kebahagiaan dalam agama merupakan cermin langsung penderitaan nyata yang dialami manusia.
Perlu ditegaskan bahwa kritik terhadap pemikiran keagamaan ini merupakan sekadar cara untuk mengkritik pemikiran politik. Karena saluran ke arah sana tidak dibuka sama sekali oleh pemerintah, maka kaum Hegelian Muda memasukinya lewat gorong-gorong sempit kritik pemikiran keagamaan yang masih diperbolehkan. Bila kita anggap kritik ini sebagai perumpamaan, maka jalan ceritanya menjadi sebagai berikut.
Hegelian Tua yang menjadi pendukung absolutisme Negara Prussia mendasarkan dukungannya lewat pemikiran bahwa Negara merupakan wujud sempurna Kebebasan yang menjadi tujuan akhir pencapaian Roh Dunia. Negara Prussia itu nyata. Karena itu ia rasional. Sejarah sudah memilih wujudnya untuk hidup dalam dunia. Penggugatan atasnya sangat tidak rasional, dan oleh karena itu jahat secara moral.
Bagi Hegelian Muda, rasionalitas pemikiran politik yang dilontarkan Hegelian Tua untuk menyokong keberadaan Negara Prussia merupakan ilusi semata karena dalam kenyataannya negara ini tidaklah menampilkan kebebasan sejati. Kritik atas pemikiran politik ini dianggap sebagai revolusi terpenting dalam menumbangkan kekuasaan absolut negara atas warganya. Tugas seorang filsuf adalah menjadi prajurit yang bertempur dalam perang pemikiran.
Karl Marx tergolong Hegelian Muda. Artinya, ia berdiri di sisi menentang absolutisme negara Prussia yang menghambat kebebasan manusia. Seperti Hegelian Muda lainnya, Marx mengkritik praktek-praktek pemikiran politik Prussia dan menjuluki profesor-profesornya sebagai kaum idealis yang dekaden. Idealisme Hegel dijadikan sekadar tabir yang menutupi ketidakrasionalan praktek pemerintahan. Filsafat hegel digunakan untuk mengelabui pandangan orang dari kenyataan bahwa tidak ada kebebasan di Prussia.
Perjumpaan Marx dengan karya Feuerbach ‘Theses on Hegel’s Philosophy’ (1843) hampir mengubah segalanya. Marx tidak lagi mempercayai tugas filsuf sebagai prajurit dalam perang pemikiran. Marx juga tidak memusatkan kritiknya pada negara dan pemikiran politik. Baginya, negara hanya wujud penderitaan manusia yang bertarung satu sama lain. Negara hanyalah lembaga yang dimunculkan masyarakat sakit, yaitu masyarakat yang terpilah ke dalam kepentingan-kepentingan material yang saling bertentangan. Untuk melindungi kepentingan golongan tertentu, maka negara muncul sebagai sarananya. Negara sama sekali bukan persoalan mendasar atas ketidakadilan sosial. Negara bukanlah sebab tetapi akibat dari ketidakadilan dalam masyarakat dan perdebatan dalam pemikiran seperti memukul bayang-bayang.
I
Sejarah filsafat sepertinya hanya berisi dua pemikiran saja, yaitu materialisme dan idealisme. Materialisme menyatakan bahwa yang nyata-nyata ada dan penting dalam semua kegiatan mengetahui hanyalah materi; aspek objektif di luar rasio manusialah yang penting. Sebaliknya, idealisme menyatakan bahwa yang nyata-nyata ada dan penting dalam semua kegiatan mengetahui hanya rasio/Idea; aspek subjektiflah penting.
II
Materialisme Feuerbach menyatakan diri sebagai lawan dari Idealisme Hegel. Memang, Feuerbach betul-betul membalik gagasan mendasar Hegel. Bukan Idea yang menggerakkan materi (dunia), tapi materilah yang menggerakkan idea-idea.
III
Kritik Marx ditujukan pada keduanya. Dalam Theses on Feuerbach, ada dua pokok kritik Marx. Pertama, Marx mengkritik dualisme atau pemisahan antara objek dan subjek yang terkandung dalam materialisme Feuerbach maupun idealisme Hegel. Kedua, Marx mengkritik metafisika keduanya. Artinya, Marx menganggap keduanya terjebak di lumpur-lumpur ‘sekadar pemikiran’. Keduanya bergulat memperebutkan pepesan kosong. Keduanya sedang bergulat dengan bayangan.
IV
Kritik pertama dijawab Marx dengan mengajukan pemikirannya bahwa objek dan subjek tidaklah terpisah. Keduanya hanya ada sebagai satu kesatuan utuh. Tidak ada objek sempurna, tidak pula ada subjek sempurna. Yang ada totalitas.
V
Kritik kedua dijawab Marx dengan mengajukan pemikirannya bahwa yang nyata-nyata ada hanyalah manusia-manusia berdarah-berdaging yang hidup di dalam dan menghidupkan sejarah. Yang ada hanyalah manusia nyata dan hubungan-hubungan sosial di antara mereka dalam bergulat dengan kondisi kehidupannya, baik aspek material maupun aspek kesadarannya. Baik Hegel maupun Feuerbach sama-sama terjebak dalam permenungan atas Yang Gaib. Keduanya menempatkan Yang Gaib di panggung sejarah manusia dan menyingkirkan manusia-manusia nyata yang bergulat di dalamnya. Keduanya, sebagai manusia nyata, tenggelam ke dalam keterasingan dari kondisinya sebagai manusia nyata di dalam jaringan hubungan sosial.
VI
Daripada menyasar pada Yang Gaib, lebih baik menyasar yang betul-betul nyata, yaitu masyarakat tempat manusia dengan kelompok-kelompok, segala hubungan sosial dan kepentingan-kepentinganya.