Monday, August 6, 2007,10:45 AM
Materialisme Historis dan Ragam Produksi
Bacaan:
1. The German Ideology bagian Premises of the Materialist Conception of History dan Production and Intercourse [1845-6 MS h. 87-90]
2. Toward a Critique of Political Economy: Preface (1859, MS h. 134-7].

I
Manusia bisa saja dibedakan dari binatang lainnya karena manusia bisa main musik, ke kampus untuk kuliah, baca puisi, nonton MU lawan Juventus, menyembah Tuhan dengan khidmat, atau mendiskusikan posmo. Tapi, semua ini cuma tampilan yang bisa berdiri setelah manusia memenuhi kebutuhan dasarnya. Coba saja jangan makan tiga hari lalu nonton Liga Inggris sampai subuh. Pasti kegiatan mengasyikan itu kacau-balau. Silahkan juga coba tidak berpakaian ke kuliah tiap hari selama tiga hari. Kemungkinan besar pada hari keempat kita musti ke dokter karena masuk angin. Atau suruh Franz Magnis-Suseno mikir soal filsafat seminggu dan jangan kirimi dia sebiji nasi atau seremah roti pun selama itu. Pasti filsafatnya tidak jalan. Kenyang tidak dihasilkan dari filsafat. Dahaga tidak bisa lenyap karena sulap. Persis seperti dibilang Arthur Schopenhauer: “Primum vivere, deinde philosophari” (Hidup dulu, baru berfilsafat).

Sesakti-saktinya Dedy Cobuzer, tidak akan mampu menyulap nasi goreng sea food kegemarannya dari kekosongan. Nasi goreng tersebut bisa ada hanya melalui seperangkat kegiatan manusia yang mencurahkan tenaga kerjanya. Pertama-tama petani mengolah lahan menjadi sawah. Di sawah yang sudah diolah, bibit ditebarkan hingga akhirnya bisa tumbuh jadi padi. Semua ini bisa terjadi bukan karena sulap, tapi ada tenaga kerja yang dicurahkan ke dalam semuanya. Setelah panen (yang juga dilakukan dengan mengerahkan tenaga kerja manusia) padi digiling dengan mesin (lagi-lagi buatan manusia) hingga menjadi beras. Dari penggilingan padi di Karawang, beras itu dibawa ke pasar induk Kramat Jati dan pasar-pasar kebutuhan pokok lainnya hingga akhirnya dibeli ibunya Dedy di Alfamart (lagi-lagi harus dengan mencurahkan tenaga kerja manusia, baik sopir, kuli panggul, pelayan, dkk.). Di rumah, pembantunya dari Tegal harus mengerahkan segenap kemampuan dan tenaga yang dimilikinya untuk menggorengnya hingga matang. Setelah matang, barulah Dedy bisa makan nasi goreng kesukaannya itu.

Jadi, menurut Marx (dan menurut saya beserta orang-orang yang masih berpikiran waras) manusia dibedakan dengan binatang-binatang lainnya, pertama-tama karena manusia harus menghasilkan pemenuhan kebutuhannya dengan mengubah alam sesuai keperluan. Untuk bisa memproduksi pemenuhan kebutuhan ini, manusia haruslah berkelompok. Manusia harus ‘sosial’. Manusia adalah binatang yang lemah secara individual. Manusia tidak punya sayap dan mata setajam Elang. Tidak juga mereka punya cula dan kulit tebal untuk menakut-nakuti musuh. Gigi taring manusia juga tidak bisa merobek kulit buaya atau gajah. Kukunya pasti patah untuk mencakar leher banteng. Di balik kelemahan itu, manusia punya kelebihan yang berasal dari kelainannya, yaitu ketika semakin kompleksnya organ otak dan berdirinya moyang manusia dengan dua kaki (bipedal). Paduan perkembangan syaraf dan tangan yang nganggur memungkinkan nenek moyang manusia menciptakan perkakas. Mulailah muncul manusia. Secara alamiah, manusia memang tidak bisa tinggal di Siberia atau Sahara. Tapi, dengan kemampuannya, manusia bisa hidup di mana pun setelah mengubah alam (membuat baju bulu beruang, membuat topi, dll).

Dengan kemampuannya mencurahkan tenaga dengan perencanaan matang dan bantuan perkakas, manusia mulai berlawanan dengan alam. Manusia, tidak seperti binatang lainnya, tidak pasrah terhadap lingkungannya. Kalo lingkungannya tidak menguntungkan, maka manusia mengubahnya agar menguntungkan. Karena air sungai tidak mungkin disulap untuk mengalir sendiri ke ladang-ladang, maka manusia mengubah aliran sungai, entah dengan membendung atau menggali tanah untuk salurkan air ke ladang.

Dalam istilah dialektika, manusia merupakan hasil dari pergerakan alam. Manusia adalah negasi terhadap alam. Tetapi, karena manusia berasal dari alam, maka perlawanan manusia terhadap alam tidak bisa semena-mena. Manusia tidak bisa melampaui alam. Begini contohnya: petani tradisional di negeri Skandinavia tidak pernah kepikiran untuk bertani kurma atau petani padi. Sebaliknya petani tradisional Arab tidak kepikiran untuk menjadi pemburu ikan paus atau singa laut. Sebabnya jelas. Tanah Skandinavia bukanlah habitat kurma atau padi; dan tanah Arabia bukanlah habitat ikan paus atau singa laut. Manusia mengatasi alam tapi tidak bisa melampauinya karena manusia bagian dari alam juga. Meskipun pikirannya bisa melayang jauh ke penjuru yang gaib-gaib, tapi perutnya tetap terikat pada alam.

Sebagai bagian alam, manusia juga terpengaruh oleh alam yang sudah diubahnya itu. Setiap manusia mengubah alam, manusia juga ikut berubah. Hubungan manusia dengan alam hidupnya bersifat dialektis.

II
Premis pokok materialisme historis adalah bahwa manusia itu mahluk sosial. Kegiatan manusia (bahkan manusia itu sendiri) tidak akan bisa dipahami tanpa melihatnya sebagai bagian dari kegiatan kolektif. Contohnya: ketika manusia memproduksi sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidup, segala rupa yang disebut ‘kebutuhan’ dan bagaimana memenuhinya bukanlah ciptaan perorangan. Ulat sagu bukanlah makanan dalam daftar menu keluarga Jawa. Koteka juga bukan bagian dari daftar pakaian menak Sunda. Buat sebagian orang Batak atau Korea, anjing merupakan makanan lezat, tapi ia haram buat orang Anglo-Saxon Amerika. Daging babi itu makanan buat orang Papua, tapi bukan bagi orang Bugis. Kenapa bisa? Siapa yang mendefinisikan sesuatu itu makanan dan yang lainnya bukan? Siapa yang bilang bahwa sesuatu itu pakaian dan yang lainnya bukan? Jawabannya: sosial atau kolektif atau masyarakat. Kolektiflah yang mendefinisikannya.

Ketika saya lahir ke dunia ini, di sana sudah ada ibu, bapak, paman, bibi, tetangga, sepupu, dan sebagainya. Saya tidak lahir ke ruang kosong. Ada kolektif yang telah ada sebelum saya lahir. Supaya saya tumbuh dewasa dan bertingkah wajar sesuai dengan aturan kolektif, maka saya diajarkan tentang ini-itu, tentang tetek-bengek yang perlu saya ketahui untuk bisa hidup dalam kolektif tempat saya lahir.

Jadi, dalam materialismenya Marx yang penting diperhatikan bukanlah soal dari mana asal-usul pelakon di dunia nyata ini. Itulah sebabnya materialismenya Marx menolak idealisme Hegelian sekaligus materialisme kontemplatifnya Feuerbach karena kedua-dua pemikiran itu mempersoalkan sesuatu yang gaib. Yang nyata-nyata nyata adalah manusia nyata dengan segala hubungan sosial yang menjadi simpul pengikat berbagai tindakan, pemikiran, dan khayalan manusia perorangan. Intinya, material dalam konteks pemikiran Marx adalah ‘sosial’. Inilah premis pokok materialisme historis.

Manusia tinggal, hidup, dan berinteraksi dengan sesama dan alam lingkungannya melalui berbagai hubungan sosial. Ada banyak sekali bentuk-bentuk hubungan sosial yang bisa dilalui seorang manusia untuk berhubungan dengan sesama. Ada hubungan kekerabatan yang menata hubungan orang-orang berdasarkan ikatan perkawinan dan keturunan. Ada hubungan politik yang menghubungkan orang-orang berdasarkan ikatan kekuasaan. Ada hubungan birokratis yang menghubungkan orang-orang berdasarkan ikatan formal sebagai warga negara. Ada hubungan keagamaan yang menghubungan orang-orang dengan sesama dan dengan Tuhan berdasarkan gagasan Ketuhanan.

Bukti keragaman hubungan yang ada dalam kehidupan sosial bisa diamati dari diri kita sendiri. Terutama dari kedudukan dan peran sosial kita dalam masyarakat. Si Mimit menyandang kedudukan sebagai temannya Oca, mahasiswa FIKOM, anggota PM, anak dari kedua orang tuannya, keponakan dari pamannya, adik dari kakaknya, pacar dari Deni, tetangganya Ika, warga negara Indonesia, umat Kristiani dari gereja Anu, dll-dll. Dari situ silahkan saja mengira-ngira berbagai hubungan sosial yang bisa dilalui Mimit berinteraksi dengan orang lain. Tentu lebih banyak dari yang bisa saya daftarkan waktu membuat tulisan ini.

Menurut Marx, dari banyaknya bentuk hubungan sosial, ada satu bentuk hubungan sosial yang paling pokok dalam kehidupan manusia di mana pun di dunia ini. Ialah hubungan produksi dan reproduksi. Seperti sudah dibilang tadi, pertama-tama manusia harus memenuhi kebutuhan hidupnya dulu untuk bertahan hidup dan pacaran.

Hubungan produksi adalah hubungan sosial yang menata hubungan manusia dengan manusia lainnya dan manusia dengan lingkungannya, entah lingkungan alam maupun lingkungan buatan manusia (perkakas dkk.), dalam rangka menghasilkan pemenuhan kebutuhan hidup (Tolong jangan bayangkan ini dalam konteks perorangan, tapi dalam konteks sosial, tapi kalo belum bisa juga nggak apa-apa). Unsur pokok dalam hubungan produksi adalah pengaturan kepemilikan atas alam, perkakas, dan tenaga manusia.

Dalam sejarah manusia, paling tidak ada dua jenis pengaturan kepemilikan, yaitu kepemilikan komunal/kolektif dan kepemilikan pribadi. Dalam kepemilikan komunal, alam dan daya yang dimiliki, perkakas kerja, dan tenaga kerja manusia adalah milik bersama. Semua yang bisa dihasilkan dari kegiatan produksi menjadi milik bersama. Misalnya ada seorang laki-laki dewasa anggota suku pemburu-peramu. Tenaga kerja yang dimilikinya, misalnya dalam bentuk kemampuan berburu dengan tangkas, bukanlah miliknya sendiri sehingga ketika dengan kemampuannya itu ia memperoleh buruan yang besar, buruan itu pertama-tama menjadi milik bersama sukunya. Hasil kerjanya dibagi-bagikan kepada semua anggota suku. Penghitungan pembagiannya berdasarkan kebutuhan, bukan berdasarkan perolehan. Bila si pemburu tangkas itu bujangan, maka bagiannya akan lebih sedikit daripada anggota suku lain yang sudah punya anak lima, meski pun sumbangan kerja si bujangan lebih banyak tercurah. Prinsipnya adalah “dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya, dan untuk setiap orang sesuai dengan kebutuhannya”.

Dalam kepemilikan pribadi semua hal yang dimiliki seseorang adalah miliknya pribadi. Segala hal yang bisa dihasilkan dari upayanya adalah miliknya pribadi. Terserah bila setelah itu ia memberikannya kepada orang lain, yang penting hasil itu adalah miliknya. Dalam masyarakat yang mengatur kepemilikan berdasarkan kepemilikan pribadi orang dilihat sebagai individu-individu, bukan sebagai bagian dari kolektif. Segala yang dimiliki dan dihasilkan individu dipandang sebagai milik individu.

III
Nah, uraian ringkas di atas akhirnya berujung pada salah satu konsep pokok pemikiran Marx, yaitu ragam produksi (mode of production). Ragam produksi bisa diartikan sebagai seperangkat cara masyarakat untuk memproduksi pemenuhan kebutuhannya. Di dalam konsep ragam produksi terkandung pengertian bahwa ragam produksi memiliki unsur-unsur. Pertama biasa disebut syarat-syarat produksi atau segala batas-batas kealaman yang memungkinkan atau tidak memungkinkan suatu masyarakat memproduksi sesuatu (contoh petani Skandinavia dan Arab tadi).

Kedua, kekuatan atau daya-daya produksi. Kekuatan produksi terdiri dari segala daya yang berasal dari alam (cahaya matahari, angin, air, tanah, tubuh dan tenaga manusia atau binatang, dkk.) dan dari segala yang diciptakan manusia (pacul, bajak, bendungan, mesin tenun, komputer, ilmu pengetahuan, dkk.).

Ketiga, hubungan produksi atau seperangkat hubungan sosial yang menghubungkan anggota masyarakat dengan syarat dan kekuatan produksi.

Ragam produksi merupakan satu kesatuan utuh yang saling paut antar berbagai unsur di atas. Bila Hegel memilah babak-babak sejarah berdasarkan perkembangan gagasan tentang pemerintahan, maka bagi Marx setiap babak sejarah manusia dan setiap masyarakat dibedakan berdasarkan ragam produksi pokok yang mendasari dan melangsungkan kehidupan sosialnya.

Secara umum, paling tidak ada empat bentuk ragam produksi pokok sepanjang sejarah manusia, yaitu primitif-komunal, perbudakan, feodal, dan kapitalis.
Inilah saja yang kita diskusikan untuk saat ini.


Labels:

 
posted by abdulkarim_aljabar
Permalink ¤