Bacaan:
1. Economic and Philosophical Manuscripts-bagian Critique of Hegels’s Dialectic and General Philosophy [1844 MSW h. 96-111].
2. Filsafat Sejarah [Hegel/Pustaka Pelajar/2001, Bab Pendahuluan].
Keponakan saya yang masih remaja, mungkin sehabis merenungkan berita koran atau sejarah dari buku, tidak jarang bertanya pada saya, mengapa ada kejahatan, peperangan, kemiskinan, dan segala keburukan di dunia. Untuk ukuran remaja, pertanyaan seperti ini cukup subversif. Sebagai seorang beragama, jawaban yang saya berikan biasanya berkisar pada pernyataan bahwa segala di dunia adalah ciptaan Tuhan. Tuhan itu Mahabaik. Bila ada ketidakbaikan di dunia, berarti Tuhan sedang menguji orang-orang beriman atau menghukum orang-orang durjana. Di balik kejahatan, pasti ada hikmah yang bisa dipetik. Tugas kita sebagai ciptaan hanyalah memetik hikmah ini. Dengan hikmah, jalan ke Kebenaran Ilahiah semakin pendek. Semakin pendek jalan ke Kebenaran Ilahi, maka tugas hakiki sebagai ciptaan, yaitu beribadah, akan semakin selaras dengan tuntunan Tuhan yang Mahabaik itu.
Dia pun tumbuh dewasa. Seiring dengan pertumbuhan fisiologi, pengenalan atas diri sendiri dan dunia sekitar semakin bertambah. Memang benar kata pepatah bahwa buku adalah jendela dunia. Lewat buku yang saya berikan, dia melihat-lihat sejarah peradaban dunia dari Mesopotamia hingga Eropa; dari Mesir Kuno ke Islam, dan seterusnya. Dari buku pula dia menemukan apa yang sudah ditemukan di masa remaja, yaitu peperangan, kemiskinan, penindasan, dan kawan-kawannya sebagai atribut yang seolah-olah sifat dunia itu sendiri. Kali ini dia tidak bertanya pada orang di sekitar. Kali ini dia mulai cari jawaban ke orang jauh. Salah satunya adalah Hegel, pemikir Jerman abad ke-19. Tetapi, karena salah satu kelemahan yang diidap adalah kemampuan berbahasa asing, maka Hegel dibaca lewat terjemahan berbahasa Inggris atau Indonesianya (kalau tidak salah, baru dua buku Hegel yang diterjemah ke dalam bahasa Indonesia) yang ada di tumpukan buku-buku saya. Tetapi bolehlah daripada mengekor pada pemahaman orang lain dalam buku-buku mereka tentang Hegel.
Jawaban Hegel atas pertanyaannya cukup sedehana. Menurut Hegel, kejahatan di dunia menunjukkan bahwa Kesadaran-Diri Roh Dunia belum mencapai tahap tertingginya. Artinya, Si Roh Dunia belum mengenal secara utuh dirinya sendiri. Selain itu, kejahatan yang tiada lain adalah peniadaan kebaikan merupakan satu jalan tempuh mencapai kesadaran diri yang hakiki. Karena hanya melalui pertentanganlah segalanya mencapai ke tahap lebih tinggi. Itulah jawabannya. Tetapi, tentu jawaban ini mengerutkan kening bagi yang belum mengenal pemikiran Hegel secara umum. Misalnya, pertanyaan bisa saja diajukan: lho, memangnya siapa sih Roh Dunia itu? Untuk apa dia mencapai tahap tertinggi kesadarannya? Memangnya Si Roh Dunia tidak utuh, mengapa? Terus, kenapa dia dihubungkan dengan sejarah dunia nyata?
Pertama-tama kita bahas metafisikanya. Metafisika Hegel menempatkan roh sebagai hakikat mendasar satu-satunya. Roh adalah substansi yang menjadi lahan tumbuhnya sesuatu selain dirinya sekaligus menjadi tujuan hakiki segala sesuatu. Mengapa bisa Hegel memilih Roh sebagai hakikat dasar segala sesuatu? Apakah dia buta bahwa lingkungan material itu nyata? Batu, pohon jambu klutuk, kucing budug, kerja kontrak, atau proletar dan rumah kontrakannya itu nyata? Ya, nyata. Semua materi itu nyata. Namun, menurut Hegel, hakikat dari kematerian materi tetap saja roh. Coba saja kalo kita potong sebuah materi terus-menerus hingga ke potongan mahakecilnya. Maka kita akan menemukan “ketiadaan materi”. Yang ada hanya konsep atau gagasan (idea) tentang materi tersebut. Hakikat roh adalah ketakterikatan (kebebasan), sedangkan materi adalah keterikatan (gaya berat). Itulah metafisika Hegel.
Sebelum melangkah jauh ke filsafat sejarahnya, perlu adanya bahasan sedikit tentang pemikiran Immanuel Kant karena filsafat umum Hegel merupakan kritik terhadap kritisismenya Kant.
Filsafat kritis Immanuel Kant berpijak pada kritiknya terhadap filsafat-filsafat rasionalistis sebelumnya (dari Descartes hingga Spinoza). Apa yang dikritiknya? Pertama, pengabaian kaum rasionalis terhadap persoalan Subjek yang sedang-mengenali. Bagi rasionalis, masalah mendasar pengenalan atau proses mengetahui hanya terletak di sisi Objek. Jadi, epistemologi mereka hanya mengangkat masalah ‘apa itu yang bisa diketahui’ dan ‘bagaimana mengetahuinya’? Mereka sama sekali tidak mempersoalkan si Subjek (rasio) yang sedang mengetahuinya. Dengan kata lain, mereka meyakini bahwa si Subjek tidak mengandung masalah. Oleh karena itulah Kant menjuluki filsafat rasionalistis sebelumnya sebagai filsafat dogmatis. Filsuf dogmatis percaya begitu saja pada rasio sebagai subjek yang sempurna.
Karena terpengaruh empirisme David Hume yang berpandangan kebalikan dari rasionalis, yaitu bahwa persoalannya bukan pada Objek pengenalan tetapi pada kerangka-mengetahui dari si subjek (kategori sebab-akibat, gagasan, kesan, dll), maka Kant mulai mengajukan kritik-kritik.
Di satu sisi, dengan mengakui kebenaran kritik Hume terhadap rasionalis, Kant menolak rasionalisme yang meyakini sepenuhnya pengetahuan rasio sebagai sumber pengetahuan hakiki yang menjadi dasar berpijaknya semua pengetahuan. Di sisi lain, Kant menolak skeptisme radikal Hume yang meragukan segala pengetahuan dan menetapkan bahwa tidak ada pengetahuan manusia yang pasti. Pengetahuan manusia, bagi Hume, hanya mampu mencapai taraf ‘kemungkinan’.
Dalam mengkritik Hume, Kant mengajukan gagasan bahwa rasio (Subjek) mempunyai kerangka yang tidak diperoleh dari pengalaman atau disebutnya pengetahuan a priori. Dalam proses mengetahui dunia luar (objek), rasio menggunakan kerangka ruang-waktu dan kategori-kategori dan hanya lewat kerangka inilah pengalaman bisa menjadi sumber pengetahuan bagi si subjek. Sedangkan dalam kritiknya terhadap rasionalis, Kant mengajukan gagasan bahwa rasio (subjek) hanya bisa mengenal (bagian dari) sesuatu yang menampakkan diri padanya atau disebutnya dunia fenomen. Dengan demikian, Kant menekankan bahwa objek-fenomen ini hanya ada ketika terhubung dengan subjek yang sedang mengetahui.
Selain dunia fenomena, ada dunia pada-dirinya-sendiri yang tidak bisa dikenali. Ada objek yang betul-betul objektif. Artinya, keberadaan objek tersebut tidak bergantung pada adanya subjek. Mengapa tidak bisa dikenali? Karena rasio subjek terbatasi oleh kerangka ruang-waktunya sendiri. Sedangkan kerangka (kategori) ruang-waktu hanya mengerangkai dunia yang tampil saja. Inilah kritisme Kant.
Di titik berhentinya kritisisme Kant inilah Hegel memulai filsafatnya. Mengikuti Kant, Hegel menggagas arti penting Subjek dalam proses pengenalan. Mengikuti Kant juga, Hegel mengajukan pemikiran bahwa Subjek tidak sempurna sedari awal. Tidak seperti Subjek dalam rasionalisme Descartes yang mahasempurna pada dirinya sendiri dan menjadi satu-satunya pijakan pengetahuan yang benar, Subjek dalam pemikiran Hegel selalu berubah dan sedang dalam proses penyempurnaan diri. Tetapi, berbeda dengan Kant, Hegel menyatakan bahwa das-Ding-an-sich tidak ada. Segala sesuatu bisa diketahui oleh Subjek, meski perlu proses untuk mencapainya.
Sebelum terlalu jauh terjerumus, ada baiknya diingatkan bahwa istilah Subjek dalam pemikiran Hegel bukanlah subjek perseorangan seperti saya atau orang-orang yang sedang belanja di warung tegal. Subjek ini adalah Subjek Universal yang sedang berhadapan dengan bukan-dirinya (yaitu dunia). Subjek Universal ini ada sebelum subjek-subjek perorangan manusia sendiri ada. Jadi, filsafat Hegel benar-benar abstrak. Kegiatan filsafatinya berada di luar dunia nyata, melampaui tetek-bengek hingar-bingar dunia nyata. Tapi, meski demikian, Hegel menyatakan bahwa bagaimanapun filsafat umumnya dibangun pula dengan sejarah empiris.
Subjek Univerisal dalam filsafat Hegel adalah Roh Dunia, dasar segala sesuatu yang ada di dunia.
Hegel bicara soal Roh Dunia atau Subjek Universal yang abstrak ini, lalu apa hubungannya dengan sejarah di dunia nyata? Baiklah, mari kita contohkan diri saya sebagai subjek di dunia. Saya menyadari bahwa saya berbeda dengan sekeliling karena ada yang-lain di sekeliling saya itu. Ada sesuatu yang berbeda di luar diri saya. Segala sesuatu yang bukan-saya boleh disebut objek. Rentang cakupan objek itu macam-macam. Dari tubuh dengan daging dan kulitnya hingga catatan sejarah peradaban yang saya ketahui lewat buku. Itulah dunia; sesuatu di luar diri saya. Tetapi, kesadaran diri saya tidak serta-merta ada sejak saya lahir ke dunia. Kesadaran diri muncul perlahan-lahan melalui banyak sekali tahap. Mulanya saya hanya mengenal ibu tempat menyusu. Hingga usia dua tahun, saya masih belum sadar betul bahwa saya berbeda dengan ibu. Ketika masanya tiba, saya mulai menyadari bahwa saya berbeda dari ibu. Saya pun berjumpa dengan warna, suara, bahasa, bentuk-bentuk, rasa-rasa, sifat-sifat, dan sebagainya hasil cerapan pancaindra atas dunia. Terus, saya mulai mengetahui banyak hal. Mulanya pengetahuan itu sedikit. Dengan berjalannya waktu dan bergulirnya pengalaman, pengetahuan saya tentang sesuatu (dan konsekuensinya pengetahuan saya tentang diri sendiri) bertambah. Ada banyak peristiwa yang memberi hikmah. Dengan hikmah itu saya semakin dewasa menghadapi dunia dan seterusnya... dan seterusnya hingga akhirnya saya mencapai titik tertinggi pengenalan diri yang menghantar pada bersatunya secara utuh antara pengetahuan dan praktik kehidupan saya atau dalam ajaran nabi agama saya, “bersatunya hati-pikiran-perbuatan”.
Roh Dunia pun mengalami seperti yang saya alami. Tahap awal, Roh Dunia tidak mengenali hakikat dirinya sendiri hingga akhirnya, melalui keberadaan dunia dan akhirnya keberadaan manusia, ia mengenal dan kian menyadari hakikat dirinya.
Bila Roh sebagai substansi, atau satu kesatuan utuh yang keberadaannya tidak memerlukan ‘yang lain’, lalu mengapa dia memerlukan yang-lain untuk mengenali diri? Ya itu tadi. Seperti saya yang memerlukan yang-lain untuk menyadari diri, begitu pula Roh Dunia. Keberadaannya hanya mungkin diketahui oleh dirinya bila ada yang-lain; ada sesuatu yang bukan-dirinya tempat ia bisa bercermin. Dunia adalah yang-lain itu. Jadi, Dunia adalah perwujudan dari keberadaan Roh Dunia dan gerak sejarah di dalamnya tiada lain merupakan gerak pengenalan Roh Dunia atas hakikat dirinya. Tetapi, apa yang menggerakkan atau yang menyebabkan proses pengenalan ini berlangsung? Lalu, kapankah proses ini dimulai dan diakhiri?
Sebelum menjawabnya kita perlu membahas konsep penting lain yang menjadi ciri khas filsafat Hegel, yaitu dialektika. Dalam filsafat Hegel, dialektika adalah teknik berpikir sekaligus hukum terdalam dari perkembangan. Artinya, perkembangan gagasan (idea) yang berujung pada kesadaran diri hanya mungkin terjadi bila ada dialektika. Di dalam pemikiran Hegel terkandung gagasan bahwa segala sesuatu mengandung pertentangannya. Sesuatu merupakan kesatuan dari pertentangan-pertentangan. Sebagai contoh, ‘ada’ adalah sesuatu. Satu kesatuan utuh dari ‘ada’ mengandung ‘ketiadaan’ dalam diri yang menyangkal ‘ada’. Oleh karena itu, keberadaan ‘ada’ tidak pernah tetap seperti ‘ada’nya, tetapi berkembang menjadi ada-yang-lain karena dirinya mengandung ‘ketiadaan’ yang menyangkal ‘ada’nya sehingga hakikat keberadaan adalah ‘menjadi’ atau terus-menerus sedang ‘mengada’.
Di dalam dialektika, proses perubahan dari tesis-antitesis-antitesisnya-antitesis berjalan dalam dua tahap, yaitu perubahan-perubahan kuantitatif dan perubahan kualitatif. Boleh kita ambil contoh telur. Telur bukan ayam, tetapi dalam hakikat telur terkandung ayam atau, katakanlah bukan-telur. Mulanya adalah telur (tesis) yang mengandung bukan-telur (antitesis) dalam dirinya. Katakanlah perbandingan antarunsurnya 9:1. Seiring waktu, unsur bukan-telur bertambah dan terus bertambah (perubahan kuantitatif). Katakanlah pada akhirnya perbandingan antarunsurnya menjadi 1:9. Tetapi, telur itu sendiri masih tetap ‘telur’ dan bukan sesuatu yang lain. Ketika pada suatu titik telur itu mencapai tahap yang unsur bukan-telurnya tertinggi, akhirnya ia menetas dan menjadi ayam (perubahan kualitatif).
Ayam merupakan sesuatu yang baru yang berbeda dari telur. Dalam pemikiran Hegel, perubahan kualitatif ini menghantar pada perubahan hakikat atau disebut loncatan dialektis. Artinya, sesuatu yang mulanya berhakikat telur menjadi berhakikat ayam. Harus ditekankan bahwa ayam tidak menghancurkan telur untuk menjadi ayam. Yang terjadi dalam dialektika adalah telur melampaui dirinya hingga mencapai kedudukan sebagai ayam; telur terangkat kedudukannya ke tahap lebih tinggi yang mungkin dicapai potensi yang terkandung di dalam dirinya. Inilah inti filsafat Hegel yang kelak melahirkan Marx dengan materialisme historisnya. Segala sesuatu sedang menjalani muhibah ke tahap yang lebih tinggi (progresif) yang sudah terkandung sebagai potensi dalam setiap sesuatu.
Menurut Hegel, hakikat Roh, berkebalikan dengan hakikat materi, adalah ketidakterikatan atau kebebasan. Sejarah dunia yang merupakan gerak pengenalan Roh Dunia atas hakikatnya adalah sejarah menuju kebebasan hakiki. Dalam kumpulan kuliahnya tentang Filsafat Sejarah, Hegel mengurai berbagai perkembangan gagasan kebebasan dan perwujudannya dalam kehidupan politik, ekonomi, dan agama masyarakat.
Ketidaktahuan Roh Dunia atas hakikatnya, yakni ketidaktahuan akan kebebasan mewujud dalam kehidupan masyarakat yang secara politik otoriter, secara ekonomi perbudakan/perhambaan dan secara keagamaan politeistik seperti yang belaku dalam masyarakat-masyarakat sebelum kapitalisme. Tetapi, ketidakbebasan ini ditentang oleh unsur dari dirinya sendiri, yaitu kebebasan. Secara bertahap, akhirnya Roh Dunia mengenali hakikatnya melalui perkembangan terus-menerus; penyangkalan terus-menerus atas kondisi ketidakbebasannya. Hingga akhirnya Roh Dunia mewujudkan hakikatnya dalam bentuk sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem keagamaan yang membebaskan manusia. Pada tahap tercapainya Idea (gagasan) kebebasan yang tiada lain adalah hakikat Roh Dunia inilah perjalanan sejarah (atau proses pengenalan diri si Roh melalui dialektika) selesai dan Roh itu berubah menjadi Roh Absolut. Pengetahuannya pun menjadi Pengetahuan Absolut. Kapankah itu?
Hegel menjawab bahwa perwujudan tertinggi atau tercapainya Kesadaran Tertinggi si Roh Dunia adalah di masanya, yaitu Eropa Barat abad ke-19. Pada masa itu, menurutnya, Kebebasan yang menjadi hakikat keberadaan Roh Dunia telah mencapai titik tertingginya, yaitu bersatunya Idea (gagasan) kebebasan dengan kenyataannya dalam kehidupan masyarakat atau ketika “Roh menyadari bahwa ia bebas, lantaran ia menginginkan Kebenaran, Keabadian yang berada di dalam dan untuk dirinya sendiri Universal”. Bentuk-bentuknya antara lain 1) filsafat pengetahuan absolut yang membebaskan filsafat dari ‘das-Ding an sich’-nya Kant, yaitu filsafat absolutnya Hegel (dan Idealis Jerman lainnya); 2) sistem politik yang mengusung kebebasan, yaitu negara hukum hasil dari Revolusi Perancis; 3) sistem ekonomi rasional dan menjalankan kebebasan, yaitu kapitalisme dan pasar bebas; 4) sistem keagamaan yang rasional dan menjunjung kebebasan individu, yaitu Protestanisme.
Bila Roh Absolut sudah mencapai tahap tertinggi pencarian ‘jati dirinya’, lalu apa yang bisa dilakukan? Semua Hegelian sepakat, yang harus dilakukan hanyalah penyempurnaan kesatuan utuh antara gagasan kebebasan dan kenyataan. Tetapi, jawaban atas pertanyaan: bagaimana menyempurnakannya? Kaum Hegelian tidak sepakat. Jawabannya ada dua, yaitu dari kalangan Hegelian Tua yang konservatif dan dari Hegelian Muda yang revolusioner. Bagi Hegelian Tua, bila Pengetahuan Absolut sudah tercapai dan perwujudannya dalam kenyataan sudah ada, yang harus dilakukan hanyalah menyesuaikan kehidupan dengan perwujudan pengetahuan absolut yang rasional ini. Bagi mereka segala yang nyata itu rasional. Derajat kerasionalan suatu lembaga sosial harus diukur dengan nyata atau tidaknya lembaga itu. Dalam pemikiran mereka, ketundukan dan penyesuaian diri dengan negara hukum Prussia dan agama Protestan (sebagai lembaga-lembaga yang nyata-nyata terwujud) merupakan jalan satu-satunya menyatukan pengetahuan dengan kenyataan secara sempurna. Dalam negara hukum, pertentangan antara kebebasan individu dan kebebasan kolektif terdamaikan.
Bagi Hegelian Muda, negara hukum Prussia dan Protestanisme bukan wujud sebenarnya dari Pengetahuan Absolut di muka bumi, atau dengan kata lain negara Prussia dan Protestanisme belumlah sempurna bila hendak menjadi wujud hakiki kebebasan. Bagi mereka yang rasional-lah yang nyata. Artinya bila suatu lembaga sosial tidak rasional atau tidak membebaskan manusia, berarti ia belum rasional. Untuk menyempurnakannya maka lembaga tersebut harus disesuaikan dengan rasionalitas yang ada; negara dan agama tersebut harus dikritik dan dirombak agar sesuai dengan yang rasional. Ketidaksesuaian negara hukum dan Protestanisme itu tampak dari masih adanya sisa-sisa monarki dan penghambatan kebebasan individu. Demokrasi yang mewujudkan kebebasan masih setengah-setengah dipraktikkan. Kebebasan individu dalam Protestanisme juga masih setengah-setengah karena terlalu berkuasanya elit gereja dan kaum teolog terhadap umat awam.
Itulah sekadar gambaran singkat gagasan Hegel yang menjadi dasar pijakan sekaligus tentangan Marx melalui materialisme historis.
Labels: ekonomi